Bab 3

1.2K 195 12
                                    

Kyungsoo mendapati Chanyeol di depan rumahnya. Bersandar pada tembok pagar. Ketika keberadan Kyungsoo terlihat, Chanyeol menegakkan tubuhnya tiba-tiba. Menatap kaku dengan tingkah yang sulit dijelaskan, lelaki itu tampak meragu. Hening. Sebelum pada akhirnya, Chanyeol bertanya dengan senyum yang dipaksakan.

"Kau sudah bangun?"

"Jika tidak bagaimana bisa aku keluar dan membuang sampah."

"Kau benar." Tawa lelaki tinggi itu gugup.

"Pergi bekerja?"

"Ah, sebentar lagi."

Kyungsoo mengangguk. Hening melanda kembali. Sama-sama saling diam. Di sepanjang matanya memperhatikan laki-laki itu untuk perbincangan lebih, yang keluar hanya hening dan kesunyian.

"Aku harus bersiap. Pekerjaan menungguku." Putus Kyungsoo.

"Kau bekerja? Di kota ini?"

"Hm-mm."

"Ingin berangkat bersama?"

"Aku sudah tahu jalanan Daegu. Tidak usah mengantarku. Langsung saja pada tujuanmu." Tolak Kyungsoo halus.

Suara teko yang menjerit menarik perhatian lelaki itu. Kyungsoo menoleh cepat. Lantas memulai langkah terburu.

"Kyungsoo-ya!" Chanyeol menahan langkahnya cepat. Laki-laki itu terhenti. Tepat sebelum kakinya melewati rel gerbang. Mendapati jemari besar beruas-ruas kemerahan menahan Kyungsoo pergi. Menyadari itu, Chanyeol melepasnya cepat. "Maksudku Do Kyungsoo."

Kyungsoo bergeming. Mendadak hatinya berkecambuk. Tanpa sengaja, kotak memori itu kembali terbuka, memutar film-film pendek tentang kenangan masa lalu. Lelaki itu tidak sepenuhnya lupa, meski tidak ingat sempurna. Namun Kyungsoo masih ingat bagaimana ia menjalani hari-hari dengan lelaki yang kini berada di hadapannya itu. Untuk satu alasan, Kyungsoo memilih diam. Seolah masa lalu ialah masa lalu. Namun sekeras apapun ia menganggap itu biasa, terkadang rasa sakit itu masih saja mendera.

"Maaf. Aku tidak bermaksud untuk tidak memberitahumu waktu itu." Duga Chanyeol mirip cenayang. Yang faktanya memang itu yang Kyungsoo pikirkan. Dan lagi, Kyungsoo kembali diajak ke waktu di mana ia benar-benar merasa marah dan kehilangan. "Kau masih marah?"

Kyungsoo menatap arah lain.

"Aku tahu," Chanyeol berdekham dengan suara beratnya. "Aku sudah lancang pergi meninggalkanmu begitu saja, dan sekarang tiba-tiba aku muncul seperti ini... pasti hatimu benar-benar terluka." Chanyeol mengembuskan napas kuat. Menatap wajah redup itu. Ia bisa melihat apa yang Kyungsoo rasakan. Terlihat jelas dari reaksi yang ia berikan. Ia tampak tidak senang.

Dan kecewa.

"Kalau boleh memilih, aku ingin berpamitan padamu saat itu. Memberimu salam perpisahaan. Tapi-"

"Tapi menghilang secara tiba-tiba bukan pilihan yang bijak, bukan?" Balas Kyungsoo cepat. Seperti peluru laras panjang yang ditembakkan dari kejauhan.

Dan tepat mengenai batin Chanyeol. Datar, namun cukup membuatnya tertohok.

"Kau benar," Chanyeol merapatkan blazzer hitamnya. "Tak apa, kau pantas marah atas diriku."

Jika memang itu yang Kyungsoo rasakan, tak mengapa, ia pantas melakukannya. Chanyeol tidak bisa melarang, pun karena itu memang kesalahannya. Ya, Chanyeol menyadari itu. Pergi tanpa pamit pada seorang sahabat yang selalu menghabiskan waktu bersama adalah hal yang paling disesalinya. Ia tidak punya alasan memang. Meskipun begitu, berkat tembikar-satu-satunya benda yang bisa ia bawa saat itu-Chanyeol tetap bisa mengingat Kyungsoo. Meski terkadang Chanyeol juga merasakan rindu yang teramat berat. Namun di sini, ia lebih memahami perasaan Kyungsoo.

A DAY TO REMEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang