Chapter 1 Part 2: Dawn vs Seth

29 6 13
                                    

Malam telah tiba saat makan malam dimulai. Ruang makan yang luasnya dua kali luas kamarku ini diterangi sebuah lampu gantung besar di tengah ruangan serta dua lampu gantung lebih kecil di sampingnya. Tak seperti kamarku yang dipasangi wallpaper bermotif, ruang makan ini--atau lebih cocok disebut aula makan--hanya dicat berwarna putih dengan jendela-jendela tinggi dan pintu berkusen ukiran floral menonjol seperti relief.

Api perapian menari-nari hebat di salah satu sisi dinding, menghangatkan ruangan--dan suasana. Meja kayu berukir panjang mengisi tengah ruangan, di mana kedua belas anggota berkumpul dan memakan makan malam mereka. Ya, termasuk aku.

Luka di bahuku telah ditangani dan hebatnya, aku tidak merasakan sakit, seperti tidak terjadi apa-apa dengan bahuku. Aku tidak tahu ramuan apa yang mereka berikan saat aku tidak sadarkan diri tadi, tetapi kuakui ini sangat melegakan.

Suasana sangat tenang dan sunyi, semua memakan makanannya dengan tenang, namun aku bisa merasakan hawa membunuh yang besar saat seluruh anggota sedang berkumpul seperti ini. Setengah melirik ke sekeliling meja, aku menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan seluruh anggota organisasi dan semua penampilan eksentrik mereka.

Di ujung kanan sisi mejaku, duduk seorang remaja laki-laki berjas dengan rompi hitam berperawakan menarik berrambut pirang pendek yang sepertinya seumuran denganku. Di sebelah kirinya, seorang pemuda yang lebih dewasa sedang serius memotong beef wellington-nya dengan simetris, rambutnya berwarna seperti pasir, panjang sampai leher dan menutupi sisi kiri wajahnya.

Selanjutnya ada aku yang sambil menyembunyikan rasa gugup dan takut memakan hidangan makan malam, di samping kiriku duduk Alastair. Mata tajamnya tetap menunjukkan kesan mencengkam, gerakannya sergap saat memotong dan mengunyah dagingnya. Di sebelahnya duduk pria berambut merah terang, alisnya tinggi dan tipis, pupil matanya berwarna hijau emerald sekilas terlihat dari mata sayunya yang membuatnya terlihat selalu malas dan enggan, sebuah kalung perak dengan tabung persegi kecil tipis melintang di dadanya.

Di ujung tengah meja, duduk pria tua berumur sekitar tujuh puluh tahun berambut gelap dengan sedikit rambut beruban membentuk bidang segitiga di sisi kening kirinya. Jenggot putihnya rapih membingkai wajah penuh kerutannya, walaupun begitu badannya masih terlihat bugar dan gemuk. Tidak seperti anggota yang lain, dia hanya memakai setelan kemeja putih panjang dengan rompi hitam saat makan malam hari ini.

Kemudian untuk sisi meja di seberangku, dari ujung kiriku, duduk seorang wanita muda berwajah cerah berumur sekitar dua puluh lima tahun, rambutnya disanggul berwarna ungu terang, poni panjangnya jatuh membelah wajah dengan ujung bergelombang. Kemeja putihnya berkerah rumbai diikat dasi pita hitam yang dijepit batu permata berwarna ungu gelap. Bergeser ke sampingnya, duduk di seberang Alastair, pria bermata sipit dengan bekas luka sayatan melintang dari rahang kirinya menuju hidung, rambut gelapnya disisir kebelakang dengan secuil rambut mencuat ke pelipis kanannya.

Duduk di sebelahnya, Seth yang memelototi aku sejak makan malam dimulai. Sial sekali aku harus makan berhadapan dengannya. Kemeja lengan kanannya dilipat sampai siku agar tidak terkena perban yang membalut seluruh lengan bawahnya. Amarahnya lebih besar daripada rasa laparnya, terlihat darinya yang hanya sesekali dengan ganas menusuk potongan daging dengan garpu di tangan kirinya dan mengunyahnya dengan kasar, tatapannya masih tak terlepas dariku. Aku hanya menunduk untuk menghindari sorotan kebencian matanya.

Di sampingnya seorang remaja berbadan gemuk pendek, berambut gelap tipis acak-acakan dengan pipi mengembung membantu Seth memotong dagingnya, kurasa dia yang bernama Gifford. Matanya sipit dan beralis turun ke bawah seperti orang marah.

Terakhir di sebelahnya, pria berbadan kurus dan jangkung berkulit gelap sedang melipat tangan, menandakan dia sudah selesai makan. Pakaiannya sama sekali berbeda dengan anggota lainnya, dia memakai kaus raglan berwarna putih-kuning dan celana jeans. Tulang pipinya tinggi dan berdagu lancip, rambut putihnya ditata panjang ke belakang dengan bandana besar berwarna merah yang sampai menutupi alisnya, membuat mata cekung besarnya terlihat menerawang dari bawahnya.

Itulah semua anggota Organisasi Dua Belas Pembunuh. Suasana makan malam yang tenang namun mencengkam ini terus berlanjut sampai Seth yang semakin lama semakin kencang menusukkan garpu ke makanannya menimbulkan gebrakan pada meja. Alastair memperhatikan ini, dengan suaranya yang dalam dia menegurnya.

"Seth," Alastair menatapnya dengan tajam, "kau membuat mejanya bergetar, berhenti menghantamkan garpu itu dan makan dengan tenang."

Setelah menghantamkan gebrakan terakhirnya, dia menahan garpunya di piring. Seth mengarahkan pandangannya ke Alastair dan mereka saling memelototi satu sama lain. Alastair dengan tatapan tajamnya tetap menunjukkan ketenangan sementara Seth, yang sudah tidak dapat menahan amarahnya mulai menggebrak-gebrak meja dengan garpunya lagi dengan makin kencang dan cepat hingga membuat piring dan gelas bergetar di atas meja.

Anggota lain terlihat tidak tertarik dengan konflik ini dan tetap memakan makanannya dengan tenang, terlihat si pria berambut merah mengangkat piring dan alat makannya dari meja yang bergetar. Setelah satu gebrakan besar, Seth membanting garpunya ke piring dan berdiri dari duduknya.

"Kau ...!!" geramnya, mendekatkan tubuh ke meja. "Kau! Manusia Sialan!! Berani-beraninya melemparkan pisauku sendiri padaku! Aku tidak terima atas apa yang kau lakukan para tanganku!! Aaarggghhh!"

Dia mencengkeram taplak dengan tangan kirinya dan naik ke atas meja mencoba menyerangku. Gifford langsung memegangi tangan kiri dan punggungnya, menahannya agar tidak maju lebih jauh. Alastair merentangkan tangannya di depanku, tanda dia akan melindungiku dari serangan yang mungkin terjadi. Dia masih terus mengawasi Seth yang sekarang meronta-ronta dengan satu kaki sudah berpijak di atas meja.

"Gaaahh!!! Kau tidak pantas di sini Dawn!!" Teriaknya. "Kau tidak pernah diterima di sini! Aku ingin kau mati! Lebih baik kau mati!! Aku tidak terima kau melukai tanganku!! Aku tidak terima!!! ..."

Umpatannya masih berlanjut saat Gifford dan pria sipit di sampingnya mencoba menenangkannya, namun ia tetap tidak mau tenang. Aku gemetaran dalam dudukku, menelan semua perkataannya yang dilempar untukku. Ketakutan akan serangan yang bisa dilakukannya padaku. Tidak pasti bagaimana aku dapat menjalani hidupku di sini, di kumpulan para pembunuh yang salah satunya benar-benar ingin membunuhku. Kurasa kematianku memang jalan keluarnya.

Memangnya apa lagi yang akan kau lakukan jika suatu hari terbangun di tengah-tengah kumpulan pembunuh terbaik dunia?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

12 Kills [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang