Terbangun dalam kondisi pening dan mual yang dirasakan Restu Adji saat ini amat meresahkan. Dia tak pernah semabuk ini selama hidupnya. Restu berusaha untuk tetap sober manakala beberapa rekan kerjanya menyodorkan beberapa gelas alkohol untuk diminumnya.
Saat itu, Restu ingin langsung pulang namun seorang rekan kerja mengajaknya ke sebuah Cafe & Lounge yang baru saja launching di kawasan Sarinah. Karena biasanya ketika setiap jum'at malam usai bekerja, dia beserta beberapa rekan melepas penat ke beberapa hiburan di Cafe maupun karaoke.
Hingga tadi malam dia memberanikan diri mencoba mendekati area Bar dan diracikkan sebuah minuman yang sungguh memabukkan bagi orang awam seperti dirinya. Padahal ia berusaha menolak ketika ditawari oleh teman-temannya.
Sekilas dia tengah mengenang. Melepaskan sang kekasih yang dipacarinya selama dua tahun hanya karena wanita itu belum siap menikah adalah satu hal. Merelakan wanita yang dicintai hanya dalam waktu beberapa bulan pacaran hanya untuk menikah dengan pria lain adalah lain hal.
Menyakitkan dan sulit dilupakan. Banyak orang berkata, 'waktu akan menyembuhkan luka'. Namun hingga kini lukanya sulit sembuh dan belum mengering sepenuhnya. Ironis. Saat ia masih sibuk menekuri diri, justru sang pujaan hati telah berbahagia bersama suami dan anak mereka yang kini genap berumur satu tahun.
Entah sampai kapan ia sanggup bertahan menjalani hari-hari monoton yang dipaksanya untuk tetap sibuk bekerja agar ia mampu melupakan rasa sakitnya itu.
Perutnya seketika bergolak, ia berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi lambungnya. Tenggorokannya terasa panas membakar, kedua matanya memerah dan perih. Setelah usai, ia terduduk lemas di bawah wastafel dan meraih handuk kecil. Membasuh wajahnya yang penuh keringat dan kembali mual saat mengendus bau tak sedap dari arah wastafel.
Dengan sekuat tenaga ia mencoba bangkit dan terduduk di penutup kloset. Membenamkan wajahnya dan menghirup nafas dengan teratur. Setelah peningnya berangsur membaik, ia membersihkan diri dengan cepat dan mengenakan pakaian santai. Kemudian melangkah turun ke arah dapur dan menyapa Bik Arum, ART keluarga Soebagyo.
"Sarapan dulu Mas Adji, sudah saya siapkan. Tadi Mas Erik telfon, Mas diminta datang ke showroom secepatnya. Saya pergi ke pasar dulu ya Mas."
"Iya Bik, matur nuwun yo."
Bik Arum mengangguk pelan dan meninggalkan Restu sendiri. Ia memulai sarapan seorang diri pagi ini. Restu teringat ia telah mengantar sang Ayah pulang ke Yogyakarta dan akan berada di kampung halaman selama seminggu.
Teh tawar hangat yang disesapnya sungguh nikmat. Mengurangi mual dan muntah yang sesaat lalu ia rasakan. Memakan roti bakar dengan lahap dan mengunyah omelet telur yang terasa nikmat. Usai sarapan, Restu kembali ke kamar dan mencari ponselnya yang ternyata tergeletak di bawah meja. Ia memeriksa puluhan pesan dan missed called. Semalam ia minta dijemput oleh Erik yang ternyata masih terjaga. Dan kini ia harus mengambil mobilnya di showroom dan kembali istirahat di rumah.
Dengan cepat ia memesan ojek online dan segera meninggalkan rumah usai menunggu selama lima menit. Berkendara selama dua puluh menit, ia tiba di sebuah showroom mobil di kawasan Jakarta Selatan.
Restu dan Erik membangun usaha otomotif sejak empat tahun yang lalu. Erik memutuskan untuk terjun langsung pada usaha bersama mereka paska resign dari perusahaan perbankan yang telah ia tekuni selama empat tahun. Sebagai salah satu owner, Restu mendanai sejumlah uang untuk operasional bengkel dan Erik yang mengawasi aktivitas di showroom.
Selama itu, Restu mendelegasikan tugas pada Erik saat ia masih harus bekerja di tempat mereka dulu bekerja. Jika dulu Erik tidak memutuskan resign, mungkin jabatan yang disandang Restu kini dijabat oleh Erik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Love
General Fiction#3 Unpredictable Love Series For Adult Only Please, Be Wise..