"Papa mohon, Papa sangat mohon pada Reisa. Reisa bersedia kan, untuk menikah dengan Tuan Hanggono?"
Bagaikan petir yang menyambar di tengah hari bolong, ucapan Papa benar-benar membuat Reisa shock. Ia merasa dikhianati oleh orang tuanya sendiri. 'Papa telah menjualku! Benar-benar keterlaluan dan sulit kupercaya!' berangnya dalam hati.
"Kenapa Rei harus menanggung akibat dari utang-utang Papa? Tega-teganya Papa menjual Rei pada seorang lelaki tua yang wujudnya saja tak pernah Rei lihat!" Gadis 17 tahun itu benar-benar murka. Sangat murka. Geliginya saling gemerutuk demi menahan amarah dan tangis yang hampir pecah.
Mama hanya dapat menangis di pojok ruang tamu sambil duduk bersimpuh di lantai. Ia kehabisan kata-kata. Di satu sisi ia tak ingin jika Putri sulungnya menikah di usia yang sangat muda-bahkan menikah demi melunasi utang!
Namun, di sisi lain, ia tak sanggup jika suaminya harus mendekam di penjara akibat utang yang tak kunjung dapat terbayarkan. Si pengutang selalu mengancam untuk memenjarakan Papa dengan tuduhan penggelapan dana dan investasi bodong, lantaran pinjaman modal yang dilakukan untuk menjalankan usaha bersama tak kunjung dapat dikembalikan hingga melewati jatuh tempo.
"Apalagi yang dapat kita lakukan, Rei? Rumah ini akan disita oleh pihak Bank pekan depan. Lalu, Papa juga tak bisa mencicil sedikit pun pinjaman yang diberi pak Bram. Kamu tau kan bahwa pak Bram telah mengancam untuk memenjarakan Papa?" Papa menangis. Lelaki 50 tahun itu runtuh sudah ketegarannya. Tak dapat ia bayangkan bila rumah akan disita dan dirinya pun harus mendekam di penjara. Lalu, siapa yang akan menafkahi istri dan kedua anaknya?
"Mama, mohon Rei. Nasib kita berempat di tanganmu ..." Mama beringsut kemudian rela berlutut di bawah kaki gadis kecilnya, Reisa Nawang Cita. Gadis muda itu tetap berdiri walau air mata penuh menyesaki dadanya.
"Aku akan laporkan kalian semua ke KOMNAS Perlindungan Anak! Aku tidak main-main!" Reisa melepaskan kakinya dari pagutan Mama dengan kedua tangannya, lalu beranjak meninggalkan kedua orang tuanya. Ia membua pintu rumah dan bergegas pergi. Hanya dengan jalan kaki, ia lalu bingung harus mengembara ke mana.
"Nggak mungkin! Gue nggak mungkin menikah di usia 17 tahun! Masa harus putus sekolah? Gimana terus sama Ezra?" Betapa nestapanya hati Reisa, terlebih mengingat Ezra--gebetan yang telah lama ia sukai dan saat ini mereka lumayan sangat dekat.
"Harus ke mana gue sekarang?" Reisa masih tergugu sambil terus mengetuk gawainya dengan kedua jempol.
"Halo, Ge?"
"Yoi, Pret!"
"Gue ke rumah, ya?"
"Sini-sini! Kita main curly-curlyan, ya! Gue baru beli alat curly, nih." Gea terdengar begitu semangat di seberang telfon. Reisa menyeka air matanya dan merasa ajakan Gea benar-benar tidak ada manfaatnya saat ini.
"Ge, gue mau cerita banyak. Banyak pokoknya!"
"Iye, cerita aja sepuasnya elo! Cerita apa sih? Paling tentang Ezra, ya? Ciyeeee ..."
Segera Reisa memotong ujaran sahabat karibnya, "Gue mau dijual bokap gue, Ge!"
"Hah? Apa? Telinga gue nggak budek kan? Apa lo bilang?"
Reisa tak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia putuskan sambungan telfon, lalu segera memesan ojek online untuk menuju rumah Gea yang berjarak 2 Km dari rumahnya.
"15 ribu? Duit gue cukup nggak, ya?" Reisa merogoh dalam-dalam saku celana kulotnya. Untunglah di sana masih tersisa 18 ribu! Betapa miris hidupnya saat ini.
Reisa tau, dia bukanlah terlahir dari orang tua kaya raya 7 turunan seperti Abu Rizal Bakrie atau Chairul Tanjung. Papa dulu mengawali karier sebagi staff ahli otomotif di perusahaan otomotif ternama di kota tempat tinggal mereka.
Selama hampir 15 tahun Papa berkarier di perusahaan itu. Beliau mengawali karier dari titik nol hingga sanggup mencapai level Manager. Dulu, sewaktu Reisa SD, dia pernah diantar ke sekolah menggunakan sepeda motor bebek oleh Papa. Mereka juga kerap jajan siomay di pinggir jalan atau main komidi putar di pasar malam. Cukup sederhana, namun bahagia.
Seingat Reisa, saat Papa menjadi Manager beberapa tahun ke belakang dulu, keadaan ekonomi mereka mulai naik ke taraf yang lebih baik. Memang saat itu tak semewah sekarang. Namun, semua kebutuhan selalu terpenuhi, bahkan tiap tahun keluarganya selalu berlibur ke luar pulau atau sekitaran negara Asia Tenggara. Hidup Reisa begitu tentram dan menyenangkan, walau mereka sekelurga tinggal di sebuah rumah tipe 46. Mobil pun mereka hanya memiliki satu, tak seperti sekarang yang jumlahnya bahkan ada empat!
Namun, lima tahun yang lalu, Papa berhenti bekerja dan memberanikan diri untuk membuka usahanya sendiri. Ia mendirikan sebuah bengkel mobil yang cukup besar. Usaha Papa memang berkembang saat itu, namun krisis datang melanda hingga Papa harus meminjam uang di Bank sebagai tambahan modal.
Papa juga ingin mengembangkan karier berbisnisnya dengan menambah usaha baru, yakni membuka showroom mobil import yang harganya lumayan tinggi. Dari sanalah Papa berkenalan dengan Pak Bramantyo, seorang pengusaha tambang batu bara dan Intan ternama dari Kalimantan. Ia bersedia untuk menanam modal sebanyak 5 Trilyun demi membantu Papa mengembangkan usahanya--dengan catatan mereka akan membagi keuntungan yang masuk sebanyak 60:40.
Sekuat apa pun Papa berusaha, kedua usahanya melemah setahun belakangan ini. Bahkan Papa harus memecat lima karyawan bengkelnya dan tiga karyawan showroomnya. Semua biaya dipangkas habis-habisan, namun semuanya tetap saja nol.
Akhir tahun ini akhirnya semua kesulitan keluarga Reisa mencapai klimaks. Bank akan menyita rumah milik mereka, karena kredit macet yang tak dibayarkan selama dua tahun. Pak Bram pun berang karena untung yang dijanjikan Papa tak kunjung datang. Malah saat meminta modal dikembalikan, Papa selalu berkelit dan akhirnya melayanglah ancaman akan dipolisikan bila tak membayar dalam minggu ini.
"Neng Reisa?" sapa seorang lelaki berusia 40an berjaket hijau di atas motor yang masih menyala.
"Iya," jawab Reisa sambil mengambil helm yang diulungkan si driver ojol.
"Sesuai aplikasi, ya, Neng."
"Tiba-tiba Reisa naik ke atas motor dengan pikiran yang menerawang. Sepanjang jalan, ia melihat pohon-pohon yang bersusun di tepian jalan, pedagang es cendol dan gado-gado di atas trotoar, lalu lalang sepeda motor dan mobil yang tiada henti, kemudian lampu merah yang dipenuhi kendaraan yang mungkin hendak bertamsya menghabiskan akhir pekan.
"Pak, cari uang itu susah, ya?" tanya Reisa tiba-tiba pada si bapak ojol.
"Ya, susah, Neng. Sehari bapak bisa dapat dua ratus atau tiga ratus. Itu buat ngidupin istri sama anak lima, Neng. Tapi, disyukurin aja."
Reisa menatap dari kaca spion, lelaki paruh baya dengan kumis yang penuh uban tersebut tersenyum. Guratan tua usia terpancar dari wajahnya, seakan menampakan kesulitan dan kerasnya hidup ala kota besar.
"Setidaknya bapak tidak punya utang 5 Trilyun," jawabnya sambil menahan getir.
"Jangankan 5 Trilyun, Neng. Bapak punya utang sejuta di warung aja udah pusing. Lagian ya nggak mungkin kang ojek kaya bapak ngutang segitu hehehe."
Reisa tersenyum. Hidup memang adil, pikirnya. Bapak ini berpenghasilan sedikit, namun ia diberikan ketenangan dengan bebas tuntutan utang. Sedang keluarganya, dilimpahi kecukupan namun harus dicoba dengan lilitan utan yang sepertinya tak masuk akal.
🌼🌼🌼🌼🌼
To be continued
Test pasar dulu, ya! Apakah kalian suka dengan konsep cerita ini? Jangan lupa komentar dan votenya. Terima kasih 😘🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR DADDY [On Going] ❣
HumorBullshit banget kalau ada yang bilang uang itu bukan segalanya! Bagi Papa, uang adalah segalanya! Tidak percaya? Buktinya dia ngejual gue! Ya, dengan tega seorang ayah menjual anaknya pada seorang lelaki--well, lelaki itu nggak pernah gue kenal d...