Disparuit

1.3K 163 12
                                    

"Terra!"

Sebuah panggilan terdengar. Namun gadis yang namanya dipanggil itu tidak juga menoleh. Matanya masih saja terpaku pada puing-puing bangunan di seberang sana. Tepat di tepi pantai hingga beberapa kilo meter di dekatnya.

Semuanya hancur.

"Terra!"

"Terra!"

Tak kunjung mendapatkan balasan. Laki-laki berambut hitam pekat itu menarik lengan Terra. Membuat wajahnya tepat berada di hadapannya.

Sayangnya, gadis itu tak juga membalas. Hanya terdiam dan hampa bak boneka. Hatinya terkutuk rasa sesal yang mendalam. Namun, entah kenapa bibirnya tersungging.

"Terra, sudah," ucap laki-laki itu. Padahal ia tahu kalau Terra tak akan menanggapinya. "Ayo pulang."

Terra, ingin menyanyikan sebuah lagu lagi.

***

Seminggu sebelumnya...

"Hei, hei, Terra! Selamat!"

Beberapa orang teman Terra berkerumun di mejanya. Mengucapkan selamat karena keberhasilannya dalam ujian terakhir. Ya, walau pada kenyataannya adalah pintu besar yang baru saja terbuka.

Sementara dirinya hanya membalas dengan seulas senyum. Senyum biasa karena Terra yakin, teman-temannya juga akan sampai pada tingkatan yang sama dengannya.

Walau pada kenyataannya Terra tak dapat memungkiri kebahagiaan yang bergejolak dalam hatinya.

"Kau bahkan mengalahkan Kak Reine yang pintar itu. Aku sungguh iri padamu, Ter!"

"Iya, iya!"

"Bahkan kudengar, ia mau istirahat dulu setahun ini. Baru ikut ujian lagi setelah bisa―"

"Oh, ayolah. Jangan buat Terra merasa bersalah telah mendahului seniornya."

Terra terdiam saat Glist memotong gosip yang dikatakan oleh gadis berkucir dua itu. Kalau tidak salah namanya Lerne. Iya Lerne, Terra ingat karena ia ada di kelas yang sama pula saat mendaftar dulu.

"Omong-omong soal lulus. Tugasmu baru diumumkan besok, bukan?" tanya Glist diiringi anggukan yang lain.

Terra tak langsung menjawab. Pikirannya lagi-lagi diselimuti rasa khawatir yang tak jelas. Padahal ia sudah lulus ujian dan beberapa hari lagi, tugas yang selama ini ditunggu-tunggu oleh ia dan teman-temannya akan ia emban.

Berat. Dan rasanya ia menyesal telah lulus pada ujian tersebut.

"Terra, hei?" Glist melambaikan tangannya di hadapan wajah Terra. "Terra?"

Gadis berambut ash cyan itu mengerjap seketika. "Ah, maaf. Iya, a―aku juga belum tahu apa tugasku. Hanya saja, lusa―"

"Lusa? Whoaaaa, aku pasti datang!"

"Aku juga!"

"Ini pasti luar biasa! Tugas seorang Terra pasti begitu indah! Aku yakin!" Seorang gadis menggenggam tangan Terra begitu erat, matanya berkilauan. Ah, ia Glow.

Terra tersenyum simpul membalas tatapan itu, baru mencicit, "Terima kasih."

Sayangnya ... apa yang diharapkan dengan kenyataan tak pernah sama indahnya. Beberapa hari kemudian, tepat saat teman-teman menyaksikan sumpahnya, semua berubah.

"Terra Angelize, kubebankan padamu tugas suci di bumi."

Ucapan itu terdengar begitu berat, seolah bersiap untuk merobohkan topangan kaki Terra. Gadis itu tak bisa berpikir jernih lagi. Tubuhnya seolah bergetar hebat, padahal tubuhnya begitu kaku di hadapan para saksi.

GenreFest 2018: Dark FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang