_oo0oo_
Surabaya, 10 Oktober 2017
"Sayang. Itu bukannya Dipta?"Kepalaku seketika terangkat dan menatap ke depan. Mataku melebar saat menangkap sosok Dipta sedang berdiri di sebelah motor Ninjanya. Seolah tak percaya dengan apa yang aku lihat, kakiku serasa lemas dan airmataku menitik seketika.
"Dipta sudah sembuh, ya?"
Pertanyaan Bunda menyadarkanku. Aku mendorong pintu mobil dan langsung melesat keluar. Kurengkuh tubuh jangkung Dipta yang entah kenapa terasa dingin.
"Kamu kenapa kesini?" tanyaku penuh haru. Dipta hanya tersenyum lalu menyeka kedua pipiku yang basah.
"Sudah siap?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk menjawabnya. Jemari Dipta yang terasa dingin menggenggamku.
_oo0oo_
"Kamu beneran Dipta, kan?" tanyaku tak percaya. Dipta kembali tersenyum. Ia lebih memilih irit bicara. Apa mungkin ia sudah melakukan operasi transplantasi pita suara? Kapan? Kenapa Dipta tidak memberitahuku?
"Dip, kamu masih sakit?" Aku menggenggam jemari tangannya yang benar-benar terasa dingin menembus kulit. Dipta masih saja tak menjawab. "Kita mau kemana, Dip?"
"Akan ingin menunjukkan sesuatu padamu!"
Motor Dipta berbelok ke arah Rumah Sakit lalu masuk ke dalam parkiran. Deru motornya mereda. Setelah benar-benar berhenti, aku memilih segera turun. Untuk apa Dipta membawaku ke Rumah Sakit? Hal apa yang ingin ia tunjukkan?
Kami berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit yang sepi. Dari kejauhan terdengar suara Adzan Maghrib berkumandang. Jemariku masih saja menggenggam jemari dingin Dipta sampai akhirnya genggaman tanganku terlepas karena suara deringan ponselku.
Momi calling...
Mamanya Dipta.
"Assalamualaikum. Ya, Mom!" sapaku lembut.
Momi tidak segera menjawab tapi aku mendengar suara isak tangis dari seberang sana. Pikiran seketika kacau, hal apa yang membuat beliau menangis? Kepalaku lalu menoleh ke samping dan mendapati Dipta berdiri di sana dengan senyuman manisnya.
"Kamu dimana, Sayang?" suara Momi terdengar parau dan lemah.
"Di---Rumah Sakit, Mom. Sama Dip---"
"Kamu cepetan kesini, ya!" potong Momi.
Aku mengangguk kaku. "Iya, Mom!" jawabku pelan. Panggilan berakhir dan suara Momi sudah tidak terdengar lagi. Aku memasukkan ponselku ke dalam tas dan kembali menatap Dipta. "Kita harus segera ketemu Momi!" putusku.
BRAKKK!
Pintu kamar rawat inap Dipta terbuka lebar. Nafasku masih terlihat naik turun. Pandangan mataku mengedar menatap beberapa orang berkerumun di dekat ranjang Dipta.
Satu hal yang membuat duniaku serasa menggelap seketika.
Dipta terbaring tak berdaya di tempat tidur putih itu dengan mata terpejam. Seorang Dokter yang berdiri di samping ranjang menarik selimut hingga menutupi seluruh wajah Dipta.
"Maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Allah berkehendak lain!"
Satu hal yang baru aku sadari. Dipta tak ada lagi di dunia ini. Seketika ruangan ramai oleh suara tangis. Tak terkecuali aku yang hanya bisa diam dengan airmata berlinang.
Momi yang menyadari kedatanganku langsung berdiri dari kursinya dan menghampiriku. "Kamu sudah datang, Sayang?"
Mulutku tak mampu berucap, hanya airmata yang menjawabnya. Momi langsung memelukku dan mencoba menenangkanku. Beliau mengusap lembut punggungku.
"Ikhlaskan Dipta, ya. Dia sudah tenang disana!"
Kalimat yang Momi ucapkan semakin membuat dadaku sesak. Apalagi baru beberapa menit yang lalu aku bersama Dipta.
"Kamu sendirian, Sayang?" tanya Momi sambil melepaskan pelukannya. Aku kembali menggeleng. "Diantar siapa?"
Tak mampu lagi menjawab, tubuhku limbung seketika.
-ENDING-
Surabaya, 08 Oktober 2018
AyaStoria
KAMU SEDANG MEMBACA
Terakhir Kali #DiantarSiapa
TerrorKetika orang yang kau cintai menemuimu dan akhirnya meninggalkanmu? Perpisahan yang menyakitkan adalah saat kita tak bisa lagi melihat orang yang kita cintai ada di dunia ini. Dan perpisahan termanis adalah saat kita bisa melihat ia tersenyum untuk...