First Memoria

106 5 1
                                    

Background Music : Memoria - GFriend

Ouch

Aku merasakan satu rasa perih yang menyengat di belakang kepalaku. Sepertinya tidak lagi deh, aku mengiyakan ajakan Hiroshi untuk balap sepeda. Rasanya jatuh sungguh tidak menyenangkan. Perlahan kubuka kelopak mata yang terasa berat. Kepalaku seperti berputar-putar. Hal pertama yang kulihat adalah lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Bening dan mewah.

Lampu kristal?

Sontak aku bangun, kemudian meringis dan mengaduh sembunyi karena perih di belakang kepala rasanya sungguh sialan. Aku mengerling dengan tatapan takjub. Dimana aku berada sekarang? Ruangan ini jelas bukan kamarku. Luasnya bukan kepalang. Mungkin seukuran ruang tamu dan dapur rumahku jika digabungkan.

"Wow...."

Selang beberapa detik, pintu ruangannya terbuka. Seorang wanita muda masuk dengan ekspresi wajah khawatir dan membawa baki. Ia kelihatan asing di mataku. Wanita itu mengenakan kimono, rambutnya juga disanggul. Aku rasa ini terlalu awal untuk merayakan festival. Musim semi bahkan belum berakhir, bukan?

"Oh!" Wanita itu memekik pelan saat mendapatiku telah duduk diatas ranjang. Ia bergegas menghampiri. "Anda sudah sadar, ojou-sama?"

Eh-- barusan apa yang dia bilang?

"Syukurlah...."

"Anda menimbulkan keributan, ojou-sama." Wanita itu kini beralih menceramahiku. "Tolong jangan lagi menghilang seperti kemarin malam. Orangtua anda sangat khawatir."

"Untung saja Nobu sudah mengirimkan telegram kepada Tuan dan Nyonya besar yang saat ini berada di Teluk Shigama, bahwa anda telah ditemukan dalam keadaan hidup dan sehat, oujou-sama."

Aku mengernyit mendengar penjelasan wanita paruh baya ini. Mengapa ia memanggil dengan panggilan yang sangat berlebihan? Memangnya di Jepang saat ini masih ada yang menggunakan panggilan 'ojou-sama' selain pelayan di kafe-kafe cosplay?

"Lalu ...," Secara spontan aku menoleh ketika sosok yang ada bersamaku menggantungkan kalimatnya. "Darimana anda mendapatkan pakaian aneh ini, Hirano ojou-sama?"

Mataku membulat.

"Anda sebaiknya istirahat. Ini makan malam anda. Setelahnya tolong berganti dengan piyama dan lekas tidur."

Aku diam saja karena tidak mengerti apa yang terjadi. Wanita itu memanggilku dengan nama 'Hirano' yang jelas-jelas bukan namaku. Kemudian dia juga mengejek seragam sekolah yang kukenakan. Modelnya memang membosankan sih, tetapi tidakkah ia sadar kalau seluruh anak usia SMA di Jepang memakai baju seperti ini ke sekolah?

Sialan. Apa-apaan yang sebenarnya terjadi? Bahkan setelah wanita tadi -yang kuasumsikan adalah pelayan rumah- pergi, aku masih merasakan diskoneksi besar terhadap seluruh kejadian 10 menit yang lalu. Kemudian tatapanku jatuh pada piyama yang diletakkan di ujung ranjang.

Modelnya seperti dress dengan renda di bagian pergelangan tangan dan dada. Mirip baju boneka, atau bisa kubilang lebih kelihatan seperti piyama model Barat. Saat kutolehkan kepala ke arah jendela, aku menemukan satu potret gadis. Wajahnya mirip sekali denganku, hanya saja ia mengenakan omeshi. Aku tak ingat kalau memiliki set kimono seindah itu.

Lalu siapa gadis yang ada di potret ini?

Lama aku merenung. Kebiasaanku mengumpat ketika merasakan panik kembali muncul. Otakku dipenuhi berbagai spekulasi dan skenario aneh yang dipengaruhi oleh film-film yang pernah kutonton bersama Hiroshi. Akhirnya aku sampai pada keputusan untuk kabur malam itu juga.

"Pertama, aku bisa cari kantor polisi terdekat. Ya, setelah itu telepon ibu atau kantor ayah," bisikku pada diri sendiri.

Mengendap-endap, aku mulai keluar kamar dan menuruni tangga. Setelah berusaha kuat menahan segala suara, akhirnya aku keluar dari bangunan yang membelengguku. Namun tak kusangka taman depannya ternyata sama luas seperti rumah mansion. Aku masih mengendap-endap dalam gelap malam melewati taman sambil sesekali menoleh ke belakang. Takut-takut jika ada yang sadar bahwa aku kabur.

Jauh di depan terdapat tiang lampu. Seorang laki-laki berseragam militer berdiri disana, menghadap sebuah pohon. Wajahnya kelihatan sedih. Dari samping, profilnya terlihat tak asing. Kuhampiri dia, berharap orang itu bersedia untuk membantuku kabur. Tetapi belum sampai setengah jalan, lelaki tersebut sudah menoleh ke arahku. Ia memandang takjub dan langkahku terhenti seketika, kaku.

Itu Hiroshi. Kamiyama Hiroshi, teman masa kecilku. Bocah sialan yang membuatku jatuh dari sepeda dan terjebak dalam segala kebingungan ini. Oh, jadi dia juga mengalami nasib yang sama sepertiku? Kurasa aku tidak jadi marah padanya. Kini aku berjalan santai, namun Hiroshi masih ternganga melihatku. Satu tanganku terangkat hendak menyapanya.

"Yo, Hirosh--"

"Hira--no ...-sama?" Bibir Hiroshi bergetar mengucap nama itu. Ia berlari menjemputku, menarik lenganku kasar kemudian membawa tubuhku ke dalam dekapannya.

Jantungku bertalu, wajahku terasa panas. Aku tak pernah bermimpi akan dipeluk oleh seorang laki-laki selain ayah. Jadi ini sangat memusingkan bagiku, terlebih yang melakukannya adalah Hiroshi. Orang yang sudah kukenal sejak sebelum masuk sekolah dasar.

"Hirano-sama? Syukurlah kau telah kembali. Aku sangat khawatir ketika mereka memberitahukan perihal kehilanganmu." Ia mendesah hampir menangis.

Mataku kembali membelalak. Kudorong Hiroshi sekuat tenaga hingga ia melepaskan pelukannya. "Aku bukan Hirano!" ketusku.

Namun Hiroshi hanya memandang sayu. Tangannya terentang ingin meraihku. Kutepis tawaran itu sambil kembali mengoceh, "Hiroshi! Sudah, deh. Jangan terlalu banyak bercanda."

Kali ini roman wajah Hiroshi berubah. Alisnya berkerut dalam, ujung bibirnya berkedut. Kemudian mulutnya membuka sedikit seolah ingin bicara, tetapi langsung ditutup kembali. Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi.

"Uhm-- aku minta maaf jika agak lancang ...," Hiroshi akhirnya mengeluarkan suara. Nadanya agak ragu. "Tetapi-- boleh aku tahu siapa itu Hiroshi, Hirano ojou-sama?"

Kuhembuskan napas bosan hingga menerbangkan rambut depanku. Kutepuk lengan kirinya agak kencang, dua kali. "Ayolah, hentikan. Leluconmu sudah tidak lucu."

Hiroshi mengedip. Wajahnya tiba-tiba saja memerah. Ia mengulum senyum, memperhatikan tanganku yang masih bertengger di lengannya.

"Kurasa ... ehem-- tidak seperti ini caranya menyambut tunanganmu," ucapnya dengan nada pelan yang terdengar malu-malu.

Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan segala yang terjadi.

"APA???"

MEMORIA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang