▶ Background Music : Memoria - GFriend
“APA???”
Tunangan, katanya? Siapa bertunangan dengan siapa?!
“Hahaha.”
Mulutku berhenti merapalkan kata-kata tanpa suara saat kudengar ia tertawa. Pria yang mirip Hiroshi, tetapi bukan Hiroshi. Dia melepas topi militernya, menampakkan potongan rambut yang tegas dan rapi. Garis wajahnya keras dan kentara, namun ekspresinya lembut. Betul-betul mirip Hiroshi. Ia menatapku lalu kembali tertawa.
Agak kurang ajar, memang.
Bahunya bergoyang-goyang ketika tergelak. Matanya membentuk sepasang garis lengkung seperti bulan sabit. Kemudian ia berhenti, masih sesekali mengusap ujung matanya karena terlalu banyak tertawa. Ia meminta maaf lalu menggandengku, berjalan menuju pohon yang berada di depan tiang lampu. Aku merasa aneh ketika kulitnya menyentuh tanganku.
Orang ini adalah orang asing, namun entah mengapa aku merasa ia seperti keluarga. Alarm dalam diriku tidak memberikan peringatan sama sekali. Dia mendudukkanku pada ayunan kayu yang tergantung pada dahan pohon yang kokoh.
“Maaf aku membuatmu kaget, Hirano.” Pria yang mirip Hiroshi lagi-lagi meminta maaf, tiba-tiba memanggil dengan panggilan kasual. Ia mendorong pelan ayunan yang kududuki.
Sepertinya aku harus berakting menjadi Hirano ojou-sama. Siapapun dia, aku minta maaf karena mengambil tempatmu malam ini....
“Apakah kau ingat? Kau sangat menyenangi ayunan ini. Setiap saat aku berkunjung dulu, kau tidak pernah mengijinkanku mendudukinya. Kau pasti sangat senang terbang tinggi, ya.” Suaranya mengalun si sampingku.
Dia berdeham sebentar, membuatku menengadahkan kepala. Kuasumsikan jika Hirano dan laki-laki ini sudah saling mengenal sejak lama. Mungkin teman masa kecil.
“Kau tahu, dunia di luar sana sangatlah indah.” Lalu ia berhenti mendorong ayunan dan beralih menatapku. “Namun sayang, beberapa pihak egois lebih memilih untuk menghancurkannya.”
Aku meneguk ludah, paham betul bahwa ia baru saja mereferensikan kalimatnya kepada peristiwa yang merupakan mimpi buruk bagi siapapun. Perang.
Tatapanku turun ke bawah, menemukan pin nama yang dikaitkan di dada kiri pria yang mirip Hiroshi. Aku membaca tulisan ‘Kawahara Eiji’ disana. Sontak nyaliku menciut. Napasku sesak ketika sadar akan satu hal.
‘Kawahara’ adalah marga ibuku.
“Oh ya, ngomong-ngomong ... Aku punya hadiah kecil untukmu.” Ia merogoh saku celananya sementara aku masih berkutat pada pikiran awal.
Lagi-lagi kepalaku terasa pusing. Di saat diriku ingin menarik kemungkinan yang lebih jauh, Kawahara Eiji yang berdiri di belakangku memberikan sebuah pin rambut yang terbuat dari batu zamrud. Begitu cantik hingga aku lupa jika tengah keras berpikir.
“Kau menyukainya?” Ia bertanya. Aku hanya mampu mengangguk sebagai jawaban saking takjubnya pada pin rambut yang indah ini.
“Kawahara Eiji-sama?”
Aku dan Kawahara Eiji menoleh bersamaan pada panggilan itu. Ternyata wanita yang sebelumnya bersamaku tengah berjalan menghampiri. Aku melihat Kawahara Eiji tersenyum sopan, namun wanita tersebut tidak. Ia melihatku duduk di atas ayunan lalu menatap tajam.
“Hirano ojou-sama,” tegurnya membuatku bergidik. Ia memang tidak berkata apa-apa selain memanggil, namun tatapannya seolah menyuruhku untuk kembali masuk ke dalam mansion.
Sialan, gagal rencanaku untuk kabur.
Aku berjalan gontai meninggalkan Kawahara Eiji. Tiba-tiba dia menahan tanganku. Dengan senyum yang memikat lelaki tersebut bertanya, “Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?”
“Hmm....” jawabku tidak jelas, lanjut berjalan mengikuti wanita yang menyuruhku masuk. Kudengar suara Kawahara Eiji yang mengucapkan selamat malam agak keras dari arah taman.
“Selamat tidur, Hirano-sama,” ucapnya kembali menggunakan nada formal.
Aku berjalan menaiki tangga sambil menggenggam pin rambut yang diberikan oleh Kawahara Eiji. Pikiranku berkecamuk kembali saat mengingat namanya. Aku membayangkan diriku terlempar ke dalam ruang waktu dan berhenti di masa lampau. Untuk apa? Aku tidak tahu. Mungkin untuk menebus dosa.
“Maaf,” kataku pada pelayan wanita di depan. “Sekarang tanggal berapa, ya?”
“Oh, tanggal 4 Oktober.”
Aku mengedip. “Bukannya masih April?”
Pelayan wanita tadi menghela pasrah. Sepertinya sudah lelah denganku. “Sekarang tanggal 4 Oktober, tahun Taisho ke-9, Hirano ojou-sama.”
Hatiku mencelos. Lututku terasa lemas. Kini tidak ada lagi celah bagiku untuk kabur. Bayangan paling buruk yang baru saja kuimajinasikan tenyata benar terjadi. Terjebak dalam dunia asing yang tidak kukenal.
Aku menutup pintu kamar, ingin menangis. Kujatuhkan tubuhku di atas ranjang. Sekujur tubuhku merinding, merindukan ibu dan ayah. Ketakutan mulai menjalar. Di tengah kekalutan dan ketidakberdayaan itu, penglihatanku jatuh pada pin rambut yang diberikan Kawahara Eiji.
Pikiranku melayang pada Hiroshi. Membayangkan apa yang kira-kira dilakukan anak itu. Hiroshi memang jahil, tetapi ia tidak pernah betul-betul melewati batas. Aku merasa bersalah karena sempat berpikir ingin balas dendam padanya hanya karena ia memenangi balap sepeda antara kami berdua. Aku juga sempat meneriakinya dengan kata-kata kasar. Padahal aku tahu Hiroshi hanya berguyon.
Sekarang aku berada jauh dari Hiroshi, juga ayah dan ibu. Di suatu ruang yang tak mampu diraih mereka bertiga. Aku menenggelamkan wajahku pada kasur, tak dapat lagi menahan seluruh luapan yang menyesakkan dadaku sedari tadi.
Tangisku pecah.
![](https://img.wattpad.com/cover/163913379-288-k646106.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORIA (TAMAT)
Short StoryAku tidak mengerti, hal terakhir yang kuingat aku lakukan adalah balap sepeda bersama teman masa kecilku, Hiroshi, selepas pulang sekolah. Namun tiba-tiba saja saat membuka mata, aku berada di sebuah tempat asing era Taisho. Bagaimana, bagaimana car...