~3~

9 1 0
                                    

Baru 5 menit yang lalu, bel istirahat berbunyi. Namun kantin sudah dipenuhi para manusia lapar yang datang untuk berburu makanan.

Putra melirik ke arah sahabatnya yang sedang memasukkan sesuap nasi goreng kedalam mulutnya.

"Rin.. Tahan dulu dong makannya aku mau curhat nih."

Gerakannya terhenti, gadis yang mengenakan hijab putih itupun balas menatap Putra. Dia Airin teman masa kecil Putra, bisa dibilang sudah jadi sahabat dekat.

"Apasih, orang lagi laper. Nanti aja curhatnya."

"Ini soal Annisa."

"Kenapa lagi tuh adikmu." Ucap Airin dengan nada malas. Dia kembali memasukkan sesuap nasi goreng yang tadi sempat terhenti ke dalam mulutnya.

"Dia jalan bareng temen cowoknya lagi. Kali ini ke mal."

"Lah terus?"

"Nanti dia dimodusin sama temen-temen cowoknya"

"Ya enggaklah."

"Kok yakin amat."

"Iyalah, mereka pun tau kalo abangnya annisa ngamuk, hahh.." Airin memberi jeda sambil memutar bola matanya.

"Singa yang lagi PMS aja kalah." sambung Airin. Ia sangat malas menghadapi sikap overprotektif sahabatnya itu. Airin tahu betul, Putra sangat overprotektif terhadap adik dan kakak perempuannya, Annisa dan Tasya.

Sangking overprotektif-nya, Airin pernah disuruh menemani Putra memata-matai adiknya. Mulai dari sembunyi di semak-semak sampai memanjat pohon pun Putra lakukan demi memantau dan melindungi adiknya dari tangan-tangan usil. Airin saat itu hanya pasrah diseret-seret jadi detektif dadakan oleh Putra.

"ishh.. Gitu amat sih, jadi orang. Emangya singa bisa PMS?"

"Tau' tanya aja sama singanya."

Putra tertawa pelan. Memperlihatkan seulas senyuman di wajahnya.

"Eh rin."

"Hm"

"Kau rindu kakek gak?" seketika jantung Airin serasa berhenti sesaat, mendengar kalimat Putra barusan.

"Maksudmu kakek yang mana?" tanya Airin ragu-ragu, meski sebenarnya dia tahu betul siapa yang dimaksud Putra.

"Kakekku lah. Kek Yusuf."

"O.. Oh kek Yusuf, kangen sih." Airin tersenyum kaku sambil menatap Putra. Putra hanya tersenyum sambil mengangguk. Airin bingung kenapa Putra mengungkit hal itu lagi.

"Sekarang sudah 7 tahun ya, setelah kejadian itu." lanjut Putra. Entah kenapa suaranya merendah namun ekspresinya tak berubah, masih tersenyum.

"Sudah 7 tahun ya. Tak terasa, kita dulu masih bocah ingusan sekarang sudah jadi anak SMA. Jadi bagaimana, kau mau melanjutkan pencarian?" tanya Airin dengan nada serius. Namun sebenarnya dia ragu untuk menanyakan hal itu.

"Hmm.. Entahlah aku juga ragu. Kita tak punya petunjuk apa-apa untuk menemukan kakek. Tapi, terima kasih kau sudah membantuku walau tak ada untungnya buatmu."

"Siapa bilang gak ada untungnya buatku. Membantu teman itu suatu kesenangan bagiku."

"Terserah kau saja.." ucap Putra lembut sambil tertawa pelan.

Airin tersenyum. Tapi pikirannya melayang pada kejadian 7 tahun lalu. Saat mereka masih SD, kakek Putra menghilang tiba-tiba. Tak ada yang tahu kemana orang tua yang baik hati itu pergi, bahkan orang tua Putra. Setelah tahu kakeknya menghilang tanpa jejak dan tak pernah kembali, Putra sempat depresi. Dia menutup diri dan mengurung diri dikamar, dia menjadi Putra yang lain.

Bagaimana tidak? Putra sangat dekat dengan kakeknya bahkan lebih dekat dibandingkan dengan kedua orangtuanya.

Saat itu hanya Airin yang ia percayai untuk mengetahui semua rencananya. Mereka sempat diam-diam mencari tahu kemana Kakek Putra pergi. Tapi apa daya, saat itu mereka masih SD, masih terlalu kecil bagi mereka untuk ikut campur urusan  seperti itu. Karena pencarian mereka tidak membuahkan hasil, mereka memutuskan untuk berhenti mencari dan tidak mengungkit-ungkitnya lagi.

Airin kemudian menggelengkan kepalanya. Ia tak mau membayangkan lagi masa-masa kelam saat Putra depresi.

"Kau kenapa rin? Geleng-geleng kepala." kalimat Putra menyadarkan Airin dari lamunannya.

"Eh gak pa-pa kok. Hehe..." Airin mengaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

"Yaudah, cepat abisin bentar lagi masuk."

"Oke." Airin segera menghabiskan sisa nasi gorengnya dan menyeruput habis jus jeruknya.

"Oh ya put, kau tadi gak mesan apa-apa?"

"Enggak, aku kan lagi mencoba berhemat."

"Halah, bilang aja lagi gak ada duit."

"Apa kau bilang?!" ucap Putra dengan wajah cemberut. Airin hanya terkekeh melihatnya. Mereka berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke kelas.

Airin memperhatikan Putra dari belakang. Airin tersenyum. Ada kelegaan di hatinya. Putra sudah kembali menjadi Putra yang ia kenal, menjadi cowok ceria sekaligus cerewet. Namun di satu sisi, Airin juga merasa khawatir karena ia yakin Putra tidak akan melupakan masalah itu dengan mudah.

MISSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang