Beberapa waktu belakangan ini, bisa dibilang aku menjalani waktu yang cukup sulit. Tugas-tugas yang menumpuk, try out seminggu sekali, ditambah les sepulang sekolah. Padahal jam pulang sekolahku sudah cukup lama. Menggendong tas yang berat sudah menjadi rutinitas. Aku, sudah menjadi seperti kura-kura yang tenggelam dalam tempurung.
"Woi Kay ngapain bengong" Dila menggebrak meja sambil teriak.
Astagfirullah, ingin rasanya berkata kasar.
"Apaan sih Dil, ngagetin aja" pekik ku.
"Abisnya kamu bengong, kan aku jadi makin tertarik buat gangguin" jawabnya enteng.
Dia Dila, teman dengan sejuta pesona. Laki-laki mana yang tidak tertarik dengannya. Dia cantik, putih, tinggi, ditambah lagi cerdas, walaupun kadang suka sengklak. Ya... Contohnya kayak yang barusan dia lakuin.
"Pulang sekolah nanti kamu ada acara gak?" Tanyaku.
"Enggak sih, ini kan Jum'at, jadi aku free wuahaha". Dia menjawab sambil mengeluarkan tawa layaknya hantu yang terbebas dari neraka.
"Mantaff... Kalo gitu kamu harus temenin Kay ngabisin waktu di toko buku okay". Aku meninggalkannya sambil mengedipkan sebelah mata sebelum dia mengeluarkan kata-kata.
Ku susuri koridor, semua tampak sibuk. Ada yang sibuk dengan lembaran-lembaran kertas, sibuk menjahili teman, dan bahkan ada yg sekedar mengajak bicara kucing liar.
Aku pergi ke kantin untuk membeli sebotol kopi instan. Entah kenapa kopi selalu menjadi pilihan utama. Ia seperti punya daya tarik tersendiri, terutama aromanya.
Setelah sebotol kopi sudah berada di genggaman, aku membayar kemudian kembali lagi ke kelas. Tapi kali ini aku tak melewati koridor tadi.
Kuputuskan jalan di tepi lapangan basket sambil memandang ke langit.
Dan ini juga salah satu yang aku suka selain kopi. Dengan memandang langit, hati terasa tenang dan semakin dekat dengan sang maha pencipta.Setelah itu, aku duduk di bangku taman sambil menenggak kopi instan yang baru saja kubeli. disebelahnya ada tangga untuk menuju ke kelas XI. Kupandangi langit lamat-lamat, dan memori beberapa tahun lalu itu terputar kembali. Seperti rentetan skenario film yang diputar secara acak.
"Astaghfirullah. Kayla Annisa Khumaira sadarlah itu masa lalu." aku bergumam dalam hati.
Aku tersadar dari lamunan. Sudah hampir sepuluh menit aku duduk di kursi ini. Tiba-tiba seseorang menarikku.
"Ayo masuk". Gumamnya sambil terus menarik pergelangan tanganku.
"Dil, bisa gak, sehari aja gausah ngagetin kay?" Jawabku kesal.
"Gak bisa" katanya.
Jam pelajaran berakhir, aku dan Dila segera pergi ke toko buku. kuinjakkan kaki di depan pintu toko, dan yang pertama tertangkap oleh mata adalah sosok lelaki tinggi, dengan kulit kuning Langsat, hidung mancung, dan satu lagi ciri khasnya, peci hitam dengan sedikit corak keemasan. Dia Rafa, Rafa Abdul Naufal. Sebenarnya aku sudah mengenal dia sejak lama. Namun, tak pernah bertegur sapa.
Mari, biar kuingat kembali. Waktu itu, ada suatu kegiatan yang di adakan sekolah. Dan ternyata kami satu regu. Ada beberapa saat aku bertanya dengannya tentang kegiatan tersebut. Ya... Dia menjawab. sangat sopan. Kesan pertama yang kusematkan padanya.
Aku berlalu begitu saja, tak menghiraukan hadirnya. Toh jarak aku dengannya juga lumayan jauh tadi.
"Kay, sebenarnya kamu mau beli buku apa?" Tanya Dila saat kami sampai di rak yang penuh dengan novel.
"Gatau" jawabku enteng.
"Yaelahh, terus ngapain kita ke sini" pekiknya dengan raut muka sedikit kesal.
"Kita baca buku aja di sini, jadi pengunjung ilegal, duduk tapi gak beli." Cetusku.
"Terserah kamu deh Kay, untung aku sayang, kalo gak udah ku tinju." Balas Dila.
Aku yakin tinju nya sangat menyakitkan, maklum saja, dila salah satu anggota tekwondo di sekolah kami.
"Ampun buk." Jawabku padanya sambil menyatukan kedua tangan di depan muka dan diiringi sedikit gelak tawa.
Beberapa jam berlalu, kami sukses menjadi pengunjung ilegal, kemudian aku dan dila pulang ke rumah masing-masing.
Sampai di rumah ibu menyambutku dengan senyum. Ia mengenakan tudung biru dongker serta daster yang menjadi ciri khas ibu-ibu. Ia sedang berada di teras rumah, baru selesai menyiram bunga.
"Assalamu'alaikum." Ku ucapkan salam sambil mencium tangannya.
"Wa'alaikumussalam." Jawabnya.
Di teras rumah terdapat dua kursi berdampingan dengan sebuah meja yang menjadi pembatas di tengahnya. Ibu duduk di kursi sebelah kanan jika dilihat saat menghadap ke bagian dalam rumah. Dan aku duduk di kursi yang satunya.
"Gimana tadi belajarnya?" Tanya ibu sambil membenahi tudungnya.
"Alhamdulillah lancar Bu, tapi tadi persentase ada yang nanya terus pertanyaannya muter-muter, padahal intinya dikit aja. Kan Kay jadi bingung." Jawabku sembari bercerita singkat.
"Dia mungkin gatau cara bilangnya, makanya muter-muter. Yang pentingkan udah terjawab pertanyaannya." Kata ibu.
"Iya Bu, Alhamdulillah." Balasku.
Ibu itu sungguh luar biasa. Walaupun kami bukanlah keluarga yang serba berkecukupan, tapi ibu selalu bisa mengatur keuangan dengan baik. Dia tak pernah menampakkan kesusahan fikiran kepada anaknya. Jika aku dan kakakku membutuhkan sesuatu ibu selalu sigap menanggapinya.
Pernah suatu saat, waktu pembayaran uang buku sudah jatuh tempo. Namun kami belum memiliki cukup uang untuk melunasinya. Ibu tiba-tiba saja datang dan memberikan uang untuk aku agar segera melunasi uang buku itu. Entah dari mana dia mendapatkannya aku juga tak mengetahui. Pasalnya, ayah bilang bahwa dia belum mendapatkan uang untuk melunasinya.
Itulah ibu dengan sejuta keistimewaan yang ada padanya. Jika aku sudah memiliki keluarga sendiri nantinya, aku ingin memiliki kepribadian seperti dia. Dia yang dapat mengayomi anaknya dengan sangat baik. Dia yang selalu sabar walau kesusahan memang benar-benar sedang berada di depan mata. Dia yang tak mengeluh walau uang belanja yang di berikan ayah memang tak mencukupi.
Aku selalu bermohon kepada ilahi, agar aku selalu berada di samping ibu dan ayahku hingga sampai ke jannah-nya. Dan aku selalu bermohon kepada Allah untuk selalu memberikan keberkahan, agar aku bisa membahagiakan mereka. Cukuplah masa-masa ini mereka kesulitan, tapi nanti mereka akan menjadi orang yang paling aku bahagiakan.
Jadikan Al Qur'an yang utama😊
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twilight King
SpiritualIni bukan kisah seperti Ali dan Fatimah. Semua jelas berbeda dan tak ada yang istimewa. Namun, suatu kisah akan menjadi indah, tergantung bagaimana sang pemilik kisah menjalani skenario kehidupannya. Dan yang membuat alur kisah itu menjadi lebih sem...