Thank you for being a part
of my time. Tapi maaf aku harus melupakanmu karena nyatanya kau hanya dapat menenggelamkan ku dan tak dapat menyelamatkan ku
.
.
.Sore ini tak seperti biasanya. Ibu tak menyambutku dengan senyuman teduh nya. Pulang dari sekolah aku langsung merebahkan badan di atas matras dengan sprei berwarna rose Quartz tanpa motif. Ada dua bantal tersusun di kepala tempat tidur. Di sampingnya ada nakas yang dihiasi dengan foto ku bersama dengan kedua orang tua dan satu lagi gambar bunga mawar yang ku buat sendiri. Keduanya dibingkai rapi. Diantara kedua bingkai itu terdapat lampu tidur kecil.
Setelah beberapa menit menatap langit-langit kamar, aku tersadarkan karena suara murattal dari masjid. Sebentar lagi Maghrib tiba. Ibu pergi ke rumah nenek selama dua hari karena rindu katanya. Sedangkan Ayah dan kak Shifa biasanya pulang setelah selesai Maghrib.
Ku tutup jendela kamar, sekilas terlihat senja yang sangat indah. Aku sangat menyukainya. Tak ingin berlama-lama membuang waktu, aku bergegas untuk mandi dan melaksanakan shalat Maghrib.
Ibu sudah menyediakan makanan sebelum pergi. Jadi aku tak perlu memasak untuk makan malam bersama ayah. Kak Shifa biasanya sudah makan di luar sebelum pulang ke rumah.
Tepat selesai Maghrib ayah pulang. Kucium punggung tangannya yang sudah nampak keriput. Umur ayah sudah enam puluh empat tahun. Namun wajahnya tetap terlihat awet muda. Banyak teman-teman ku yang tidak menyangka bahwa umur ayah sudah lebih dari kepala enam.
Wajah ayah selalu terbasuh oleh air wudhu, mungkin itu rahasia awet muda ayah. Tahajjud dan puasa Senin Kamis sudah menjadi seperti ibadah wajib bagi ayah. Tak pernah kulihat dia meninggalkan nya.
"Yah ayo makan, Kay udah siapin. Ini ibu yang masak tadi siang sengaja ditinggalin untuk kita." Ucapku mengajak.
"Oh iya ayo." Jawab ayah.
Selesai makan kami berbincang tentang lanjutan Pendidikan ku.
" Kay mau kuliah dimana nanti?" Tanya ayah.
"Kalo Kay dapat beasiswa ke luar negeri gimana yah? Ayah izinin gak? Kakak kelas Kay udah ada yang dapat beasiswa ke Belanda yah, semuanya di tanggung sampai uang jajan juga di kasi tiap bulan."
"Lah kenapa enggak, in syaa Allah ayah izinkan. Ini kan demi masa depan Kay juga."
"Tapi ayah kan tau kalo belakangan ini rangking Kay turun. Mungkin gak yah kalo Kay bisa dapat beasiswa itu?"
"Rangking di kelas itu bukan tolak ukur kesuksesan seseorang. Rangking kelas bukan penentu seseorang bisa masuk ke universitas yang dia inginkan. Rangking itu bisa aja formalitas. Yakinlah, semua itu tergantung usaha. Seberapa perjuangan dan doa yang Kay lakukan, itu yang dilihat. Proses itu sangat penting bahkan mie instan juga butuh proses biar bisa di makan. Ayah yakin Kay bisa."
"Aaaa Ayah.... Kay terhura nih" balasku dengan senyum dan berpura pura mengelap mata.
"Ayah aja optimis, masa kamu yang mau kuliah malah pesimis." Ucap ayah.
"Iya yah, kay udah semangat ini." Kataku menanggapi ayah sembari mengepalkan kedua tangan dan mengangkatnya ke atas.
"Nah gitu dong." Ayah mengusap puncak kepalaku dan berlalu meninggalkan meja makan.
Tak lama setelahnya kak Shifa pun pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twilight King
SpiritualIni bukan kisah seperti Ali dan Fatimah. Semua jelas berbeda dan tak ada yang istimewa. Namun, suatu kisah akan menjadi indah, tergantung bagaimana sang pemilik kisah menjalani skenario kehidupannya. Dan yang membuat alur kisah itu menjadi lebih sem...