#3 hari itu

100 14 6
                                    

Ada kalanya harapan tak sesuai dengan kenyataan. Namun, dengan harapan kita akan terus melangkah untuk mencapai kenyataan.
.
.

06.15

Ku langkahkan kaki menuju persimpangan jalan. Setelah itu, menunggu angkutan umum dengan nomor 65. Perjalananku menuju sekolah berkisar 20 menit jika lalu lintas normal. Tapi, jika macet bisa memakan waktu hingga 30 menit.

Berdesakan di dalam angkutan kota sudah menjadi rutinitas. Menaiki mobil mewah, di antar bak putri raja, tak menjadi suatu impian untuk sekarang ini.

Aku senang dengan keadaanku yang sekarang, keadaan ini memberikan begitu banyak pelajaran hidup. Di angkutan kota aku dapat berjumpa dengan beragam gaya serta karakter manusia.

Ada ibu-ibu yang terus saja mengomel dengan supir yang kebut-kebutan saat mencari sewa. Ada pria paruh baya dengan pakaian yang digulung lengan kaosnya hingga ke bahu. Ada anak muda baik hati yang menawarkan bantuan kepada nenek-nenek yang hendak menyebrang. Serta anak sekolah yang bersolek tanpa memperdulikan orang di sekitar.

Hari ini jalanan lengang, aku bisa sampai sekolah tanpa terlambat. Ku injakan kaki ke gerbang utama.

"Assalamu'alaikum pak." Sapaku pada pak satpam yang berjaga di pos depan.

"Wa'alaikumussalam." Jawabnya ramah.

Ku lanjutkan langkah, belok ke kiri menuju satu koridor yang mengarah ke perpustakaan. Tiba-tiba terdengar derap langkah seseorang dari belakang. Langkahnya sangat terdengar, nampaknya orang ini gagah, pikirku dalam hati. Semakin lama langkahnya semakin mendekat. Dan dug....

"Ehh udah datang, tumben samaan." Tegur nya sambil melontarkan senyum.

Benar saja, itu dia. Masih dengan ciri khasnya, senyum yang tak lekang dan peci hitam dengan corak keemasan. Dia Rafa.

Aku menelan ludah, seketika tenggorokanku tercekat. Ku jawab pelan.

"Iya, hehe." Jawabku singkat.

Nampaknya canggung, karena biasanya tak seperti ini.

Aku segera mengambil langkah cepat.

"Kay duluan ya." Ucapku sambil setengah berlari meninggalkan Rafa.

Aku tak sempat mendengar jawabannya.

-Saat sampai di kelas-

"Kay, kamu udah siap tugas kimia?." Tanya salah seorang temanku.

"Ha? Tugas yang mana? Astaghfirullah Kay lupa." Jawabku panik.

Karena kemarin malam terlalu sibuk menangis, aku sampai lupa segala hal.

Ini kimia, pelajaran wajib di jurusan IPA. Ditambah, pak Heri cukup mahir membuat anak murid tak mampu berkata saat dia melontarkan berbagai pertanyaan.

Kalau dibilang killer sih enggak. Cuma, pak Heri itu punya cara tersendiri yang membuat anak muridnya merasa semakin bersalah jika melakukan kesalahan.

Buru-buru ku kerjakan. Dan Alhamdulillah tugasnya tak begitu sulit.

"Assalamu'alaikum, pagi anak-anak." Ucap pak Heri sambil memasuki pintu kelas.

Semua berhamburan mencari tempat duduk masing-masing.

Rahman menyiapkan kelas, dan memimpin doa. Dia ketua kelas kami, dengan badannya yang gempal. Tapi dia sangat bijak, itu yang mendasari penghuni kelas banyak yang memilihnya waktu voting dilakukan.

Setelah doa selesai, pak Heri langsung memulai kelas.

"Kumpulkan tugas kalian." Katanya dengan lantang.

Semua temanku berhamburan.

Gubrak...

Air minum di atas mejaku tumpah karena tak sengaja di senggol oleh Aina. Yang parahnya, semua buku berisi tugas yang baru saja aku kerjakan dengan setengah bernafas pagi tadi, basah terkena air.

"Ya Allah, Kay maaf ya." Ungkapnya sambil sibuk membereskan tumpahan air.

"Ah iya, tak apa Aina."

"Aku gak sengaja beneran." Balas Aina gugup.

"Iya na, Kay tau. Gapapa kok, masih bisa di lap juga." Ucapku untuk menenangkan Aina.

Untungnya masih bisa terbaca dan tidak menjadi permasalahan yang besar. Walau pak Heri sempat bertanya.

-sepulang sekolah-

Bel telah berbunyi, ku sandang tas ransel hitam besar berisi laptop dan beberapa buku.

Saat keluar pintu kelas, tatapanku tertuju pada ujung koridor. Terlihat beberapa orang sedang bergurau. Tampak bahagia. Dan aku juga melihatnya, tampilan yang sangat mencolok. Dia tertawa gembira, aku langsung berpaling.

Sudah berapa banyak dosa yang aku kumpulkan saat melihatnya. Ya Allah tolong jaga mata serta hatiku.

Sebelum aku sempat benar-benar menyadari bahwa dia adalah orang yang telah menghantui pikiran. Yang aku tahu, dia adalah seseorang yang selalu menjadi topik pembicaraan sahabatku.

Tapi, keadaan berubah drastis setelah aku melewati tiga hari bersamanya. Itu adalah saat di mana aku benar-benar mengenal kepribadiannya. Kepribadian yang sangat lembut tapi bijak. Tak pernah berkata kasar tapi terkadang usil.

Kami satu regu beranggota enam orang. Ada Rafa, Fadil, Alif, Aku, bila, dan Karisa. Kami di tempatkan ke suatu daerah untuk mengajar anak-anak yang ada di sana.

Keadaan yang sungguh miris, anak-anak tak mengenal huruf. Pendidikan sangat minim. Hanya orang-orang yang memiliki uang berlebih yang bisa bersekolah. Karena harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk ke Ke gedung sekolah.

Walau kami masih SMA tapi sekolah sudah mengirim kami untuk mengabdi beberapa saat. Ya pastinya orang yang sudah lulus dalam beberapa tahap seleksi.

Kami tinggal di salah satu rumah warga. Jarak rumah tinggal kami dengan tempat mengajar tak begitu jauh. Walau melewati jalanan yang berlumpur.

Pada hari ketiga aku sudah mulai akrab dengan mereka semuanya. Termasuk dengan Rafa.

Aku menunggu Rafa yang masih sibuk dengan barang-barang yang berserakan di teras. Sedangkan teman-teman yang lain tak menghiraukan panggilanku. Aku meneriaki mereka dengan kata "tunggu" tapi tak di gubris.

Aku memutuskan untuk tetap menunggu Rafa. Ada gerbang kecil di tempat kami mengajar. Aku tunggu dia di gerbang itu. Saat dia selesai dan keluar. Aku menutup gerbang dan dia meninggalkan ku sambil setengah berlari dan tertawa.

Itulah tingkah usil Rafa. Setelah dia berlari aku pun ikut berlari. Tapi jalanan cukup licin dan berlumpur. Dia pun kembali berbalik ke arahku sambil tertawa. Menghampiri lalu berjalan bersama. Walau dia tetap berada di depan. Karena memang seperti itulah adab saat berjalan dengan wanita. Seperti kisah nabi Musa yang berjalan dengan dua orang wanita. Dia berjalan di depan dua wanita itu, apabila hendak berbelok nabi Musa menyuruh mereka untuk melemparkan kerikil ke arah tersebut.

Rafa adalah orang yang cukup paham tentang hukum. Dia juga menjaga pandangan. Pernah waktu itu kami bersama teman satu regu berjalan ke suatu masjid dan singgah untuk melaksanakan shalat ashar. Ada seorang perempuan yang pakaiannya terbuka. Reaksi Rafa sungguh membuat diriku cukup kagum. Rafa spontan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Sungguh, tiga hari itu sangat berkesan. Karena membuat diriku semakin dekat dengan yang maha kuasa Allah azza wajalla.

Maafkan ke gajean author pemirsa.

Sebenarnya lagi sibuk banget makanya baru update sekarang. Author udah kelas 12 jadi banyak yang perlu di persiapkan. Doakan semuanya lancar ya readers.

Jangan lupa comment & vote. Terima kasih😄

-jadikan Al Qur'an yang utama-

My Twilight KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang