Bagian Hidup 3

507 75 6
                                    

"Jadi gimana, Bu? Sample yang kemarin tidak terlihat hasilnya," ucap seorang mahasiswi terlihat takut duduk berhadapan dengan wanita paruh baya yang kini raut wajahnya menandakan kekesalan terhadap perempuan muda itu. Tangannya terus membolak balik laporan dengan cepat. Seakan memang tidak perlu lagi banyak bicara, perempuan muda itu tahu dia telah gagal dalam menjalankan perintah profesornya.

"Kan saya sudah bilang mbak, tambah sedikit takarannya agar obat alternatif ini benar-benar bekerja. Ini kita menggunakan sample penderita diabetes melitus tipe 2. Sudah menghubungi pihak Pramita?"

"Sudah, Ibu."

"Beras hitam dari petani di Bantul masih cukup untuk diolah?"

"Masih, Bu."

"Coba nanti biar mbak Anetta dan Mas Galih bantu kamu di lab."

Perempuan muda itu kemudian mengangguk dan menoleh ke Anetta yang hanya diam menatapnya. Sepertinya karena muka judes Anetta, dia tidak berani memulai untuk meminta bantuan.

"Mbak Ella, duluan aja, nanti tak nyusulnya ke lab," ujar Galih dengan logat jawanya yang kental. Galih sendiri merupakan asisten profesor. Dia sedang dalam proses menyeleseikan S2nya. Kebetulan karena dosen pembimbingnya adalah Prof Nina, maka sekalian saja dia menjadi asistennya.

"Nanti saya nyusul," kata Anetta datar. Ella kemudian pamit undur diri dan segera pergi ke laboratorium. Anetta kembali melihat ke layar laptopnya. Karena Prof. Nina akan menerima penghargaan di bidang teknologi pangan, mau tidak mau dirinya harus membuat resume umum serta biodata yang harus dikumpulkannya ke kantor Pemda.

"Biodata saya sudah selesei dibuat, Net?"

"Ini sedang saya kerjakan, Bu."

Yup! Prof. Nina nggak akan memanggil Anetta dengan embel-embel mbak di depannya karena bagaimanapun juga Anetta adalah keponakannya. Anetta sendiri tidak mau mengakui atau memanggil beliau tante di kampus demi sebuah profesionalitas kerja.

Setelah dirasa cukup lengkap, Anetta langsung mencetak dokumen yang dibutuhkan dan meletakkan di meja langsung. Galih yang melihat Anetta sudah selesei mengerjakan kemudian ikut keluar mengikutinya menuju lab.

"Mbak, mbok jangan kesusu,"

Anetta hanya diam dan melihat lengannya. Sudah jam 4 sore. Sebenarnya Anetta ingin pulang cepat tapi mengingat penelitian ini gagal dan dia dibutuhkan juga akhirnya Anetta harus merelakan waktu jum'at malamnya untuk membantu Ella.

"Gue butuh istirahat, Lih."

"Mbak, nek disini tu pake lo-gue nggak pantes je. Apalagi di kampus. Wes, ojo marah. Lekas tua," ujar Galih ketika Anetta melirik tajam padanya. Anetta mengabaikan omongan Galih kemudian naik ke lantai 3. Di sana Ella sedang sibuk menakar sesuatu.

"Aspartamnya jangan banyak-banyak. Sudah dikasih tahu kenapa dipaksa?" Anetta bertanya dengan nada yang membuat Ella berjengit kaget. Dengan segera Ella mencari tabung baru.

"Bubuk kedelainya abis? Kok nggak bilang? Mbak Ella niat mau lulus apa nggak sih?"

Dan seketika tangis Ella meledak. Airmatanya turun walaupun dia sendiri berusaha fokus mengerjakan apa yang Anetta perintahkan. Galih berusaha menenangkan Ella yang mulai kehilangan konsentrasi karena menangis. Anetta menghela napasnya panjang.

Inilah salah satu alasan Anetta menyesal datang ke kota ini. Beda budaya dan kebiasaan. Belum lagi semua-semua diatur baik secara lisan maupun tertulis. Anetta bahkan kadang merasa terpenjara dengan keadaan yang seperti bukan dirinya. Saat dia memutuskan membantu tantenya di kampus, dia nggak menyangka harus mengurusi hal-hal yang merepotkan seperti sekarang ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PastoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang