Bagian Hidup 2

584 108 5
                                    

"Kakak jadinya mau ke Cibitung, Gunung Putri atau Jakal?"

Pertanyaan Lea hanya dibalasnya dengan mengedikkan bahunya. Dia sendiri masih sibuk memilah milah baju dan memasukkannya dalam koper.

"Yakin nih mau pergi?"

Kali ini Anetta menengok dan mendapati Mama Innaka memasuki kamar dan memilih duduk di tempat tidur berbarengan dengan barang-barang Anetta yang masih berantakan. Anetta melihat sendu ke mamanya. Keputusannya sudah bulat sejak bulan kemarin dia di rumah sakit dan menghindar dari Danish. Sepertinya pergi dan memulai hidup baru merupakan pilihan yang terbaik untuk segala kesalahan yang dia buat.

Lea menghampiri Anetta dan memeluknya erat sedang Anetta sendiri membalas dengan elusan pelan di lengan Lea. Walau begitu, lama lama Anetta merasa sesak juga karena Lea menggelendot manja. Cara Lea memperlakukannya seakan Anetta tak punya salah semakin membebaninya. Anetta masih ingat bagaimana dia mengusir adiknya itu atau ketika menyusun rencana agar si tengil tidak bisa kembali ke rumah. Dia rakus menginginkan semuanya dan sekarang dia harus kehilangan masa itu.

"Nggak ngikut tante kamu aja? Kemarin kan dia nawarin bantuin research-nya. Sesuai sama jurusan kamu." Lamunannya terhenti dan Anetta lagi lagi menjawab dengan kedikan bahunya.

"Jurusan Kak Netta emangnya apa, Mah?" tanya Lea sok polos. Sok-sok nggak tahu padahal sejatinya Lea kagum dengan jurusan yang diambil oleh Anetta.

"Jurusan seni drama, kan kata lo, gue tuh Anettamort, suka ngedrama," jawab Anetta asal yang membuat Lea nyengir. "Kirain kakak jurusan Ciputat-Ciledug."

"Etdah, lo pikir gue level apa naik angkot," sungut Anetta yang membuat Mama Innaka tersenyum dan tawa Lea semakin menjadi.

"Kok tahu itu angkot?" goda Innaka. Wajah Anetta berubah merah merona. Dengan melirik cepat, Anetta berujar sewot, "Pernah sekali khilaf naik angkot."

"Wahahaha, Kakak mah judes judes lucu. Ih gemes," ujar Lea kemudian mencubit pipi Anetta yang semakin memerah karena diperlakukan kayak anak kecil.

"Udah! Malah pada gangguin gue packing. Hush! Nyingkir!" usir Anetta ke Lea. Lea nekat berada di tempatnya dan malah berlindung di belakang Innaka.

"Biar ilmu yang kamu punya bisa kamu tularkan ke yang lain, An. Menurut Mamah sih kamu ikut tante kamu aja. Itung-itung mengingat masa kecil kamu," ujar Innaka lirih menghentikan upaya Anetta menarik Lea keluar dari kamarnya.

Dan kata kata itu berhasil membuat Anetta terdiam.

Masa kecilnya ya?

Iya, dia ingat sekali Mama Innaka pernah bilang dia ketika kecil dititipkan ke salah satu saudara jauh yang ternyata salah satu sepupu mamanya, anak dari adik eyangnya. Sebenarnya Anetta ingin sekali mengetahui sejarah tentang orang tuanya tapi info yang dia peroleh dari Innaka maupun Antariksa hanya sebatas siapa nama asli ayah dan ibunya serta kapan mereka meninggal. Profesi ayahnya yang -katanya- berbahaya juga Anetta tidak tahu persis. Mungkin sudah saatnya Anetta mencari tahu sekalian memulai hidup baru.

"Tante kamu lebih punya banyak kenangan tentang ayahmu dari pada Mama."

Mamanya tersenyum penuh arti. Anetta kini paham kenapa Mama Innaka mendesaknya untuk pergi ke kota di mana dulu dia pernah dititipkan serta kota di mana ayah dan ibunya sering kabur menghindar dari penjahat.

Innaka terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku gamisnya. "Ini tiket kereta berangkat untuk tanggal 1, jam setengah lima sore. Berangkatnya dari Gambir."

"Kenapa? Terharu ya udah mama beliin tiket?" tanya Innaka ketika Anetta terdiam dan melongo menatap tiket yang kini sudah berada di tangannya.

"Idiew, Mama nggak adil. Aku nggak dibeliin tiket," ujar Lea merajuk. Innaka masih mengamati reaksi Anetta yang terlihat terkejut.

PastoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang