Klasik

5 0 0
                                    

"Jadi, apa yang membuatmu sampai detik ini masih terbayang olehnya?"

"Kamu tidak mengerti Zi."

"Kamu yang membuatku seolah tidak pernah mengerti."

"Bukan itu maksudku." Gadis itu mencoba mengelak. Tubuhnya kembali menghadapku. Sudah lebih dari setengah jam kita berdiri disini. Di pinggir lobby salah satu mall besar di ibukota. Berselisih karena perubahan sifatnya yang terjadi secara tiba-tiba.

"Lalu apa? Apa semua yang aku lakukan ini tidak pernah bisa membuat kamu sadar? Bahwa dia telah pergi." Kutekankan nada suaraku pada kalimat akhir. Agar ia sadar, bahwa disini yang terluka bukan hanya dia. Aku juga.

Lalu gadis itu membelakangiku, "kamu tidak pernah tau Zi." Lirihnya.

"Kamu yang nggak pernah mau ngasih tau. Kamu biarin aku sendirian nerka-nerka apa yang terjadi sama kamu." Nada suaraku masih tinggi. Bahkan, ada beberapa mata yang melihat kita dengan tatapan terheran.

Apa yang dilakukan dua anak baru gede ini? Mungkin batinnya.

"Zi." Ia memanggilku dengan nada penuh lirih. Sungguh! Aku tidak pernah suka nada suaranya yang seperti ini. Sekeras apapun amarahku, suaranya masih mampu membuat aku dikungkung rasa bersalah.

"Ta, kita dekat sudah memakan banyak waktu. Tapi kamu masih menganggap kita ini dua orang asing. Kamu tutup setiap masalahmu, kamu hadapi semuanya sendirian. Seolah disini, disini tidak pernah ada aku." Nada bicaraku memelan. Menatap punggungnya penuh nanar. Ini sakit sekali, andai aku pandai berpuisi aku akan menulis kalimat-kalimat hiperbola untuk menjelaskan segala lara yang kurasa.

Sayangnya, aku tidak pandai.

"Bukan itu Zi, aku hanya takut. Kamu tidak mengerti Zi, tidak."

Aku memeluk tubuhnya dari belakang. Tubuhnya bergetar, pertanda bahwa ia sedang menangis. Pertanda bahwa ia sedang merasa sesak yang begitu luar biasa pedihnya.

Ta, kalau kamu harus tau. Akupun sakit, bahkan sakitku adalah sakit ketika melihat kamu sakit. Sakitku adalah sakit karena berulang kali, berulang kali kucoba, sudah terhitung lama kita bercengkrama, sedang bagimu, aku tetap orang asing.

Orang yang tidak pernah kau bagi sedihmu, sedang bagiku kau adalah segala penampung lara dan kecewa.

"Ta." Ucapku berbisik, menahan segala sesak, udara malam yang justru terasa penggap. "Aku tidak pernah tau hubungan apa yang kamu jalani bersamanya. Hal manis apa yang sudah ia beri. Sebahagia dan senyaman apa langkahmu ketika bersamanya. Yang aku tau saat ini, dia adalah laki-laki yang telah menyakitimu." Aku menghentikan ucapanku sejenak. Sedang gadis ini hanya diam, tapi aku yakin bahwa ia bisa dengan jelas mendengarkan.

"Kalau kamu ingin memulai denganku, aku hanya ingin kamu berhenti kepadanya. Sebab, kamu tidak bisa memulai hal yang baru, jika tubuhmu masih terjebak di masalalu." Perlahan kulepas pelukanku. Tidak, aku tidak menangis. Bukan karena aku tidak sedih, tapi karena aku tidak bisa menyerukan apa yang aku rasa kepada dunia. Aku hanya laki-laki pengecut yang tidak berani bersikap jujur kepada khalayak umum.

Gadis ini menggenggap sisa tanganku yang belum sepenuhnya terlepas. "Aku tau Zi, setiap manusia punya titik lelah. Bahwa setiap apa yang aku lakukan, pasti pernah membuat harimu menjadi menyebalkan. Tapi Zi, akupun sedang berusaha dan nyatanya perasaan tidak bisa dipaksa." Katanya. Jelas. Jelas sekali bahwa kalimatnya adalah kalimat halus untuk menyuruhku berhenti.

Perasaannya masih sama, sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Dia yang penuh luka, dia yang akrab dengan mimpi-mimpi diatas jam 12 malam, dia yang hidup dengan keadaan tidak seperti orang hidup.

Perasaanya masih sama, masih mencintai laki-laki yang bahkan sudah menyakitinya berulang kali. Laki-laki yang sudah menduakannya tanpa sadar diri. Laki-laki yang meninggalkannya pergi disaat dia tau, bahwa gadis ini sudah mencintainya dengan begitu keras. Laki-laki yang menaruh namanya dibagian kenanganpun tidak.

"Aku hanya bisa berharap, kamu tetap berlapang dada Zi. Seperti perasaanku, cintamupun belum bisa kubalas." Kamu telat Ta, kamu bicara seperti itu disaat aku benar-benar yakin bahwa segala usaha yang kujalani akan membuahkan hasil.

Setelah ucapannya, aku melepas genggaman tangannya. Aku melepas harapanku yang sudah kugantungkan setinggi-tingginya untuk hidup bersamanya.

"Zi, aku masih akan tetap ada. Sebagai seseorang yang menyorakan namamu ketika langkahmu nyaman dilapangan."

Aku tersenyum, mencoba untuk tetap baik-baik saja disaat aku merasa hidupku sudah tidak adalagi artinya.

Terimakasih Ta. Aku bangga bisa mengenal gadis tangguh sepertimu.

S. ZI.

UNCHAOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang