Langit Dan Laut (2)

5 0 0
                                    


Segerombolan laki-laki itu melipir, menarik napas berulang seolah sedang membuang sesak yang tak jua hilang. Wajah-wajahnya kuyu, aku paham, mereka pasti amat kelelahan setelah berjuang habis-habisan.

Salah satu diantaranya datang lebih dulu menghampiriku, duduk dipinggir lapangan. Keringatnya masih bercucuran, berulangkali ia mengusap, maka sesering itu pula cucuran keringat membanjiri wajahnya.

"Minum dulu." Kataku. Ketika masih ada beberapa dari mereka yang terlentang bebas dilapangan. Dua atau lebih dari tiga laki-laki datang menghampiriku juga. Memberi sebotol minuman untukku dan untuk laki-laki berambut ikal yang datang pertama.

Masih tidak ada yang bersuara, selain isak tangis penuh sesak. "Menangislah, supaya kalian paham bahwa antara bahagia dan kesedihan harus seimbang. Supaya esok nanti kalian belajar dari sebuah kegagalan."

Mereka masih diam, ada yang saling berpelukan. Ada yang masih menatap lapangan dengan kosong. "Suatu saat, ketika kalian besar dan dalam waktu luang, buku kenangan ini yang akan menjadi teman."

"Sudah kulakukan yang terbaik, yang paling baik yang aku punya." Kata laki-laki dengan baju yang berbeda dari teman-temannya.

Aku duduk diantara mereka, "semua tau. Siapapun yang ada dilapangan tadi adalah manusia-manusia hebat yang sudah meluangkan segala waktu dan tenaganya untuk sebuah keberhasilan."

"Kau pernah merasa gagal?" Laki-laki dengan tanda lambang pertandingan di lengannya itu bertanya.

"Tentu, aku manusia. Thomas, penemu lampu harus gagal berulang sebelum akhirnya mendapat keberhasilan."

"Apa kau tidak kecewa?" Tanya laki-laki dengan tubuh lebih mungil dari rekan yang lainnya.

"Untuk apa? Apa dengan aku merasa kecewa kalian akan berhasil? Bukankah kecewa hanya membuang tenaga?" Ku tatap mereka lekat-lekat. Semua sudah berkumpul menjadi satu.

"Tidak pernah kutaruh kecewa atasmu, justru rasa bangga yang entah dengan apa ku balasnya. Terimakasih, untuk selalu memberi yang terbaik."

Mereka tertunduk, "masih banyak sekali waktu. Kalian percaya kejaiban?"

"Percaya, ketika berulang kali aku diselamatkan oleh tiang. Bukankah itu termasuk keajaiban?"

"Ketika berulang kali aku jatuh bangun dilapangan tapi aku masih mampu berlari kencang, apakah itu termasuk keajaiban?"

"Ketika pundakku sakit dengan amat, tapi saat ini sudah berangsur pulih dan aku bisa kembali. Apakah itu termasuk keajaiban?"

"Ketika pahaku yang bengkak, masih bisa kugunakan untuk memasukan bola kedalam gawang lawan. Apakah itu termasuk keajaiban?"

"Bukankah banyak sekali keajaiban yang kalian terima? Kalian masih ingin lain kesempatan?"

"Tentu." Jawab beberapa dari mereka dengan kompak. Sedangkan beberapa yang lainnya masih diam, mendengar dengan tatapan kosong.

"Kalian masih muda. Masih banyak waktu untuk berubah. Ini masih babak awal, masih banyak kesempatan. Selalu kuyakini bahwa suatu hari nanti, kemenangan memeluk kita bersama."

"Perihal uang yang sudah di buang untuk jauh-jauh datang, suara yang di sorakan sampai ramai, waktu yang sengaja di luangkan. Apa mereka tidak merasa kecewa?"

"Tidak, kalau mereka percaya bahwa kalian akan mendapat kemenangan dilain kesempatan."

"Apakah mereka semua yakin?"

"Kita tidak bisa mensama ratakan perasaan dan pikiran orang-orang. Bahkan, kembarpun sering berselisih bukan?"

"Kalian boleh sedih, tidak apa. Itu wajar, itu refleks dari sebuah kegagalan. Akupun sedih, sedih kalian gagal, sedih melihat kalian sedih. Tapi untuk apa terlalu larut? Tidak ada gunanya. Kalian hanya membunuh waktu kalian untuk hal-hal yang malah suatu saat akan kalian sesali. Kegagalan adalah suatu proses berbenah sebelum mencapai kesempurnaan. Sebab sempurna adalah ketika kita merasa tidak sempurna."

"Terimakasih La."
"Aku selalu bangga pada kaliam Team."

UNCHAOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang