Masih Tak Mengerti

583 17 3
                                    

Di ambang pintu sana pria asing itu menatap lurus padaku yang masih terdiam di sini, Ayah dan Bang Reno yang heran atas tingkah Ibu kini sudah bersikap biasa lagi. Mereka semua mempersilakan pria bersetelan resmi itu masuk dan duduk di ruang tamu sebelah. Ibu mana mungkin membiarkan duduk di ruang tamu tempat di mana ada aku berada  dengan keadaan  kuyup bagai anak anjing yang kehujanan.

Akhirnya aku tak peduli, melihatnya saja aku tak tertarik lagipula aku tak mengenal pria itu, walaupun beberapa menit lalu tatapannya berhasil membuat detak jantungku berhenti.

Terdengar mereka bercakap-cakap sebentar, lalu Bang Radin menuju ke arahku dengan tatapan tajam. Ia menarik paksa diriku untuk mengikuti langkahnya masuk ke kamar. Sejujurnya aku begitu takut, masih ada rasa trauma jika Bang Radin bersikap seperti ini. Aku takut kejadian sebelumnya terjadi lagi padaku. Bang Radin sosok yang tidak takut apapun. Walaupun kini sedang ada tamu, jika dirinya sudah seperti kesetanan, maka tak tanggung-tanggung dirinya bisa saja melecehkanku kembali.

Punggungku menubruk dinding kamar. Bang Radin mendorong lalu menekan pundakku. Kini dia mengurung diriku dengan kedua tangannya, tatapannya sangat membunuh hingga diriku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk bernapas saja agak sulit.

"Sekarang lo ganti baju. Tapi, baju yang sopan, jangan yang terbuka, yang terbuka cukup buat gue saja." Ucapan terakhirnya membuat darahku naik. Ingin sekali kutinju wajah yang tak terlalu ganteng itu. Bukan menghina, tetapi di bagian pelipisnya ada bekas sayatan pisau lipat ulah dirinya yang sok jagoan dan berkelahi dengan beberapa preman, alhasil wajahnya codet bahkan oleh teman-teman nongkrongnya ia dijuluki pria codet, di saat seperti ini aku jadi pingin tertawa. Namun, pelototannya membuatku mengurungkan senyumanku.

"Memangnya dia siapa, Bang?" tanyaku pelan. Bang Radin tiba-tiba mendengus dan melepaskan tangannya dari pundakku kemudian berbalik seraya berkacak pinggang.

"Dia pria berengsek yang coba ambil lo dari sini?" Aku mengernyit, tak mengerti maksud Bang Radin merebutku dari mereka.

"Maksud Bang Radin Apa?" Kali ini aku mencoba mendekatinya. Berdiri berhadapan dengan lelaki yang tingginya 180cm ini.

Matanya melirik ke arahku. Ada rasa gusar yang terpancar dari mata tajamnya itu.

"Lo nggak perlu tahu. Sekarang cepet ganti baju dan samperin kita di ruang tamu. Ingat, jangan sampai lo bilang kalau selama ini gue atau ibu sering berbuat jahat. Kalau nggak, Chaca nggak akan baik-baik saja di tangan gue dan Ibu."

Salivaku tertelan bulat-bulat. Lagi-lagi Chaca menjadi kelemahanku. Menjadi senjata ancaman agar aku tidak melawan mereka. Tanganku bergetar, rasanya ingin melukai wajah pria berengsek di depanku. Kugigit bibir bawah menahan rasa kesal.

Sayangnya, itu hanya membuat pikiran jahil Bang Radin kumat. "Jangan gigit bibir kayak gitu. Seolah-olah lo mau gue apa-apain. Sial! Kenapa harus ada pria itu, gue jadi nggak bisa ...." Tiba-tiba Bang Radin berhenti bicara. Ternyata ada seseorang yang berdiri tegap di depan pintu kamarku. Dia ....

"Lo nggak sopan, masuk-masuk kamar orang," maki Bang Radin seraya maju mendekati pria asing itu.

Kini jarak mereka mungkin tinggal satu senti lagi." Maaf, saya ke sini hanya mau bertemu kekasih saya, Raisa."

"APA?!" Aku berhasil ternganga. Apa aku tidak salah mendengar. Bagaimana bisa pria asing itu mengaku-ngaku kekasih yang bahkan tak kuletahui. Saat kumelihat reaksi Bang Radin, wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya mengepal.

"Hai, Raisa!" Sapa pria itu dengan senyum manis. Manis sekali hingga membuat jantungku berdegup kencang.

"Ka--kamu, siapa?" Kutanya dia. Namun, responnya hanya terkikik geli sementara Bang Radin menatapnya berang. Ia sepertinya tak tahan untuk tidak meninju pria itu.

"Kamu tidak ingat aku?" ucapnya sambil mengedipkan mata. Bang Radin terus mendengkus. Kucoba memutar ingatan, kapan aku bertemu dengan pria itu....

"Ah, kamu yang menepuk pundakku hingga aku pingsan tiba-tiba dan membawaku ke sini?" Harap-harap cemas mendengar jawabannya. Namun, justru Bang Radin menyela duluan.

"Bukan! Bukan dia yang membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

"Ya, aku memang bukan yang menggendongmu ke sini. Memangnya siapa dia? Pacarmu?"

Ah, aku pusing. lalu, jika bukan dia siapa orang yang dimaksud Ibu. Atau Ibu dan Bang Radin mengada-ada. Tetapi, jika mereka bohong, lalu siapa yang membopongku ke sini dan membuat mereka berdua marah.

Kali ini kutatap kembali wajah pria itu. Ada senyum tipis di bibirnya setiap kali kulihat dia. Namun, tatapannya kosong, seolah-olah tidak ada siapapun yang ia tatap di sana. Bola matanya berwarna hitam jernih dengan alis mata yang agak tipis.

"Lalu, kau siapa, Tuan?"

"Jangan panggil aku Tuan. Aku ini pacarmu, Raisa."

"Hei, elo jangan ngaku-ngaku pacarnya. Jelas-jelas dia nggak kenal elo." Seketika Bang Radin emosi. Tak lama Ayah, Bang Reno serta Ibu menghampiri kami bertiga.

Posisi Bang Radin kini tengah mencengkram kuat kerah baju pria itu dengan memojokkannya ke dinding. Sedangkan pria itu hanya diam tak melakukan perlawanan. Semuanya menyaksikan mereka hingga Bang Reno dan Ayah melerai mereka.

"Apa-apaan ini?!" bentak Ayah menarik kasar tubuh' Bang Radin.

"Ayah yang apa-apaan. Bawa orang tidak dikenal ke rumah yang mengaku-ngaku pacar Raisa. Raisa sendiri pun tidak kenal siapa dia!" Bang Radin tak kalah berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah pria asing itu.

"Raisa memang tidak kenal siapa Taufan. Karena mereka memang tidak pernah bertemu."

"Lalu, maksud Ayah membawa dia ke sini dengan niat membawa Raisa pergi apa. Ayah tidak khawatir Raisa diculik oleh lelaki tua seperti dirinya?"

Walaupun aku membenci Bang Radin
. Namun aku membenarkan perkataannya ini. Apakah ayah tidak khawatir keadaanku dan apa maksud Ayah?

"Karena Ayah mau, Nak Taufan membawa Raisa pergi dari rumah ini." Seketika keadaan hening. Lebih tepatnya aku, Bang Radin juga Ibu shock mendengarnya.

Maksud Ayah mengusirku? Apa selama ini Ayah juga memebenci keberadaanku di sini hingga ia repot-repot menyuruh orang untuk membawaku pergi.

Kulihat Bang Reno hanya menunduk lesu. Sepertinya ia sudah mengetahui hal ini, tetapi kutahu ia tak bisa berbuat apa-apa. Bang Reno memang dekat dengan Ayah. Ke mana pun Ayah pergi, Bang Reno sering ikut bersamanya. Mungkin, untuk rencana Ayah pun Bang Reno tidak bisa membantahnya.

"A--ayah." Aku mundur perlahan. Hingga punggungku menubruk dinding kamar. Mataku berkaca-kaca saat kenyataan pahit kuterima depan mata.

"Raisa, dengarkan Ayah dulu, Nak." Lelaki paruh baya yang sudah Kuanggap Ayah kandungku itu menghampiri dan ikut berjongkok di depanku. Tangannya membelai rambutku pelan.

"Sayang, bukan maksud Ayah mengusirmu, Nak. Ayah hanya ingin hidup kamu bahagia tanpa ada tekanan lagi di sini. Ayah ingin kamu segera menikah dan mendapatkan jodoh terbaik, yaitu Taufan, anak teman Ayah waktu SMA."

Aku masih enggan bicara. Kubenamkan wajah pada lututku yang kupeluk erat. Aku menangi sejadinya.

"Ayah, kenapa Ayah nggak bilang ke ibu soal ini." Kudengar ibu bicara yang sejak tadi hanya diam melihat. Ia seperti tak terima jika aku pergi dari sini. Alasannya aku tak tahu. Mungkin saja karena tak ada bahan untuk disiksa lagi, jadi dia tak rela membiarkan aku pergi begitu saja.

"Biarkan dia pergi, Bu. Ayah tahu kejadian kemarin bukan sepenuhnya salah Raisa. Radinlah yang tidak bisa mengontrol hasratnya karena pengaruh alkohol."

Bang Radin serta ibu terkesiap mendengar Ayah mengetahui semuanya.

"Sudahlah! Taufan, tolong bawa Raisa pergi dulu ke luar sebentar. Saya perlu bicara dengan istri dan kedua anak lelaki saya ini. Untuk meluruskan semuanya."

Pria itu mengangguk patuh. Lalu menuntunku walau sempat tangan Bang Radin menahan. Namun, karena tatapan Ayah ia pun melepaskannya. Membiarkan Taufan membawaku ke luar rumah.

Sungguh aku masih tidak mengerti apa maksud dari kejadian ini sebenarnya

Bersambung

Cinta Lelaki DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang