Tak Terduga

467 16 8
                                    

"Sebenarnya Anda siapa, Tuan?"

"Jangan panggil aku Tuan. Aku pacarmu."

"Aku tidak pernah merasa punya pacar!"

"Tetapi aku yang mengakuimu mulai saat ini."

"Anda gila, Tuan! Mau-maunya saja Anda disuruh Ayah."

"Tetapi dia hanya ingin yang terbaik untuk kamu."

"Tidak! Dia sama saja seperti Ibuku. Apalagi dia Ayah tiri, jadi pantas jika dia ingin aku pergi darinya."

Sungguh, aku tidak tahan lagi. Semenderita inikah diriku? Tak ada kebahagiaan untukku walau hanya sebentar? Andai aku bertemu dengan laki-laki misterius itu lagi, ingin aku menyetujuinya jika aku ingin mati saja.

"Sudah jangan menangis, Raisa!"

"Aku menangis karena kamu, Bodoh!" Aku memaki pria itu. Tak menghiraukan lagi dia itu siapa yang penting aku bisa meluapkan kekesalanku.

Andai ada yang tahu bagaimana perasaanku ini. Bingung.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Kali ini nadaku mulai melemah. Kududukkan diri ini di kursi panjang taman. Walau hari mulai menggelap rasanya aku tak bisa pulang ke rumah itu lagi. Namun, bagaimana dengan Chaca adikku, apakah dia akan baik-baik saja?

"Saya hanya orang suruhan Ayahmu untuk membawa jauh dirimu dari mereka."

Hah?

"Maksud kamu apa?"

"Kamu benar! Ayah tirimu tak sebaik apa yang kamu pikir. Dia ingin kamu pergi dan menguasai ibumu. Menguasai seluruh hartanya, harta peninggalan almarhum Ayahmu. Lalu, Chaca. Dia akan baik-baik saja karena mereka tak merasa terancam oleh dengan gadis cacat sepertinya."

Apa? Ini nyatakah? Ayah berniat jahat padaku. Ya Tuhan, ujian macam apa lagi yang harus aku alami. Aku menatap lelaki itu dengan berang. Meminta penjelasan apakah semua ini benar atau hanya kebohongannya belaka. Sayangnya, ia tersenyum licik.

"Kamu meminta penjelasan?"ucapnya seraya duduk di sampingku. "Sebenarnya, aku adalah suruhan Ayahmu untuk menculik dan membunumu. hmm, dia mengatakan bebas untuk aku apakan dirimu. Bagaimana jika kita bersenang-senang terlebih dahulu."

Sial! Saat aku akan berlari menghindari lelaki itu sudah mencengkram tanganku. Menarik tubuhku agar mendekat padanya. Ini bahkan lebih berengsek daripada Bang Radin.

"A-pakah Bang Radin dan Ibu tahu rencana Ayah?" Dengan terbata-bata aku bertanya. Dia menghentikan gerakannya lalu menatapku intens.

"Dia murni tidak tahu termasuk ibumu. Ini hanya rencana licik Ayah tirimu dan Abangmu satu lagi, Reno."

Aku tercekat mengetahui kenyataan ini. Ternyata orang-orang yang selama ini kupercaya dan Kuanggap baik justru lebih berengsek. Karena tangisku, akhirnya perlawananku runtuh, tubuhku melemas dan pria itu berhasil membawa tubuhku kepangkuannya. Kulihat mata buasnya menatap tubuhku, lalu tangannya siap-siap bergerilya di setiap inci tubuhku.

'Tuhan, jika kau menyayangiku, tolong aku." Aku melenguh dalam batin. Mengharapkan pertolongan yang datang tiba-tiba. Air mata sudah deras membanjir. Di taman sepi dan lampu hanya satu yang nyala, siapa yang akan melewati jalan ini. Aku bahkan tidak tahu harus apa?

Seperti binatang, dia mengendus-endus leherku.

"Lepaskan!" Mencoba berontak lagi. Aku mengigit kupingnya hingga ia menjerit- dan melepaskan cengkeramannya.

Dengan tergesa aku berlari, kabur walau aku tak tahu harus ke mana. Tak menghiraukan jalanan mulai gelap. Ingin mencoba menghentikan mobil yang berlalu lalang rasanya masih takut. Takut jika sang pengendara laki-laki berengsek seperti Taufan dan Radin.

"Tuhan, jika aku begini terus. Lebih baik aku mati saja!" Berteriak sekeras mungkin. Tidak peduli ada yang mendengar atau tidak. Aku benar-benar ingin mati. Tidak peduli lagi dengan Chaca, karena ternyata yang paling tersiksa itu bukan dia.

"Arrghh!"

"Dasar gila!"

Eh!

Aku menengok seketika. Takut-takut dia si Taufan yang gila. Namun ternyata bukan. Wajahnya terhalang gelapnya malam tetapi suaranya aku kenal.

"Ka--kamu?"

"Masih ingat aku? Bukannya kemarin dirimu sama menginginkan mati?"

Mataku membulat seketika. Dia orangnya, orang yang membuat diriku pingsan saat itu.

"Iya, dan saat itu juga kamu mencoba membunuhkukan? Buktinya aku tiba-tiba pingsan."

"Ckckck. Dirimu saja yang lemah. Belum di apa-apain saja sudah pingsan," cibirnya seraya berjalan mendekat. Spontan aku mundur perlahan.

"Mau apa, kamu?"

"Bukannya kamu ingin mati? Sini kubantu!"

Benar saja, laki-laki itu mendekat sambil mengarahkan kedua tangannya padaku seperti ingin mencekik. Cara menghindar aku hanya terus mundur tanpa tahu apa yang ada di belakangku.

"Stop! Kumohon jangan bunuh aku!"

"Katamu ingin mati saja bahkan tidak peduli pada adikmu itu."

"I--ya, tapi aku sadar. Masih banyak masalah yang harus aku selesaikan."

"Dasar! Giliran ditekan mati, baru sadar jika banyak urusan yang harus diselesaikan."

"Maafkan aku. Kumohon, lepaskanlah aku, aku masih ingin hidup."

Langkahnya terhenti. Matanya menatap intens padaku. Lalu detik itu juga iya tersenyum penuh arti padaku.

"Baiklah, aku akan biarkan kau hidup. Tapi ada satu syarat yang harus kaupenuhi terlebih dahulu."

Deg! Saat itu juga hatiku mulai tak karuan. Haruskan aku keluar kandang macan dan masuk kandang buaya lalu keluar lagi dan masuk lagi ke kandang iblis.


Bersambung.


Cinta Lelaki DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang