Tak seharusnya semua menjadi begini. Taehyung sendiri tahu itu. Dia dibesarkan dengan keluarga beretika tinggi, dan dia dibesarkan dengan berbagai aturan dan adat.Tapi apalah arti itu semua jika akhirnya Taehyung justru berakhir dengan perasaan kacau balau begini. Tidak berguna.
Selagi teman-temannya berbincang, Taehyung sibuk dengan sebatang rokok yang terselip di jemari tangan kanannya, menghisapnya sebelum mengeluarkan asapnya dari mulut. Dia sudah berjanji untuk berhenti melakukan hal ini, sebenarnya. Tapi melakukan sesuatu selalu lebih sulit ketimbang mengiakannya.
Lagipula, anggap saja hari ini pengecualian karena dia sedang stres berat. Terlalu banyak isi kepalanya saat ini, dan nampaknya asap rokok bisa membantu untuk membuang rasa pening di kepala.
Well, teori itu hanya berlaku untuk Kim Taehyung seorang.
“Kukira kau sudah berhenti.” Dari pintu muncul Jimin, salah satu rekan kerjanya. Senyum pongah terukir dengan bibir tebal yang berdecih kecil. “Stres lagi?”
Dengan asap yang mengepul keluar dari mulut dan hidung, Taehyung mengangguk. Ditariknya rokok yang terselip di bibir dan membiarkan tangan membawa batang racun itu ke bawah. Taehyung tahu Jimin tidak begitu suka asap rokok, tapi dia senang karena temannya itu tidak memaksanya untuk berhenti begitu saja.
“Klien?” tanya Jimin lagi, dan Taehyung mengangguk. “Hanya itu?”
Bibir rasanya ingin terbuka, menuturkan satu kebenaran yang Taehyung pendam. Nyatanya, memendam sesuatu tidak seindah dan semenyenangkan yang dibayangkan. Mau bagaimana pun, dia sudah memilih ini semua. Jadi tanpa berkata sepatah kata pun, dia hanya mengangguk, mengiakan apa yang Jimin tanyakan.
Selagi keduanya masih berdiri di teras, seseorang karyawan dengan setelan biru—seragam petugas kebersihan kantor—mengetuk kaca, membuat Taehyung dan Jimin sama-sama mengalihkan pandangannya ke arah pintu kaca. Dengan senyum seadanya pria itu berjalan masuk dan menyodorkan kotak berbungkus cokelat pada Taehyung.
“Ada paket untukmu, Tuan.”
Taehyung menerimanya, awalnya ingin bertanya dari mana asalnya kiriman ini. Namun begitu melihat tulisan tangan yang ada di permukaan paket, dia justru tersenyum, kepalanya menggeleng. Oh, dia hafal tulisan ini. Bahkan tanpa perlu melihat siapa pengirimnya.
Kendari bertanya, kini Taehyung balik tersenyum dan menepuk pundak pria tadi. “Thanks.”
Hanya satu hal kecil seperti ini yang Taehyung butuhkan. Hanya satu nama yang bisa membuat kekesalannya berganti dengan senyuman konyol bak remaja yang baru mendapat surat cinta dari kekasihnya.
Ini memang bukan surat cinta. Tapi Taehyung yakin ada cinta di dalamnya. Lihatlah betapa puitisnya si perokok yang baru saja melewati masa nyaris depresi ini.
Bahagia itu memang membutakan. Ketika Taehyung sudah tersenyum layaknya idiot, sorot mata heran dan penuh tanda tanya tertuju, namun tak disadarinya hal itu. Entah sejak kapan mata Jimin sudah menyipit, memandangi paket di tangan Taehyung beberapa kali sebelum tatapan itu kembali pada Taehyung.
“Paket dari Haerin?” tanya Jimin. Suara itu yang akhirnya membuat Taehyung tersadar, kemudian menolehkan kepalanya pada Jimin. “Haerin itu... istrinya Namjoon-Hyung, kan?”
Sekali lagi, Taehyung mengangguk. Tatapannya kini berubah nanar. Kebahagiaan konyol itu ditampar dengan satu pertanyaan, membuat Taehyung kembali terdampar pada pantai bernama kenyataan.
Ya, Haerin yang itu. Jung Haerin yang kemudian tiga tahun lalu jadi Kim Haerin, kakak iparnya, istri dari Kim Namjoon.
Ya, Haerin yang itu. Kim Haerin yang kelihatan galak namun nyatanya menggemaskan, si psikolog yang handal dalam mempermainkan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME ON OUR SIDE
FanfictionKim Taehyung tahu Jung Haerin sudah memiliki keluarga, dan dia tahu betul siapa dia sebenarnya. Hanya saja, hidup ini memang rentetan kejadian tak terduga yang lucu. Dan masalahnya, hati tidak pernah mengenal status, bukan? - 19/10/2018 (Inspired by...