Bagian tiga: Masa lalu

43 0 0
                                    

Bumi pertiwi telah diguyur hujan berjam-jam lamanya. Tanda-tanda banjir sudah terlihat di beberapa titik kota dan mulai menggenangi jalan raya. Aksi sengit saling ciprat air tidak dapat dielakkan para pengendara lalu lintas layaknya kilat dan petir yang asik saling bersahut di antara pucuk-pucuk gedung. Awan tebal tak kalah hebatnya, ia membungkus seluruh langit sejauh mata memandang, tak memberi setitik celah pun bagi matahari mengintip penduduk bumi. Takdir langit, mereka bertukar peran hari ini. Matahari ikhlas berserah pada kehendak Sang Pemilik langit, tetapi dia tidak pernah menyerah berharap. Kalau hari ini ia tidak diizinkan menyinari bumi dan segala makhluknya, setidaknya ia diizinkan menitipkan cahaya kepada bulan untuk bumi nanti malam.

Aku turun dari mobil ojek online yang menumpangkanku ke rumah sakit. Dengan langkah setengah berlari aku membelah hujan lalu berhenti di bansal rumah sakit. Bajuku tidak terlalu basah karena jarak mobil dan bansal rumah sakit tidak begitu jauh. Aku menepuk-nepuk bajuku mencoba menyingkirkan air.

Rumah sakit masih sepi pengunjung saat aku tiba karena aku datang setengah jam lebih awal dari jam besuk serta jadwal piketku. Sengaja, karena aku berencana mengunjungi Adam. Hari ini hari keempat ia dirawat. Seharusnya kesehatannya jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku tidak bisa melihat kondisinya langsung disebabkan kesibukan rumah sakit, begitu juga dengan Ali yang dua hari ini tidak bisa aku jumpai. Barangkali juga disibukkan dengan pasien atau jadwal piket kami yang berbeda.

“Adam, mau kemana? Mau kubantu?” Tegurku ketika melihat Adam di depan pintu. Ia sepertinya berencana keluar dan melukis. Ia memangku kanvas beserta alat-alat lukis lain di atas kursi rodanya.

Aku mendapatkan wajah Adam yang datar sebagai jawaban. Atas pertanyaanku tadi, tidak sepatah kata pun kudapat. Ia kemudian menarik napas berat lalu berbalik kembali ke kamarnya. Aku terdiam menyaksikan adegan di depanku. Sungguh, itu sikap terdingin yang pernah aku terima dari seseorang. Tiba-tiba saja caranya berbalik mengingatkan ku kepada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Peristiwa di masa-masa kami menjalani hari-hari bersama.

“Aku lupa, Nindi. Sumpah! Apa aku harus lompat gedung dulu baru kamu percaya?” Ucap Adam santai lalu berbalik dari hadapanku, membuka pintu yang di hadapannya kemudian. Saat itu aku dan Adam masuk ke laboratorium sekolah. Bukan karena sedang mengerjakan proyek ilmiah melainkan karena dihukum. Aku tidak mengumpulkan tugas Kimia karena bukunya masih dipinjam Adam dan Adam lupa membawanya. Alhasil kami harus membersihkan ruangan laboratorium.

“Sebenarnya aku bingung apa yang harus dibersihkan di ruangan ini? Menurutku ruangan ini sudah sangat bersih secara fisik. Paling-paling bakteri saja yang mungkin masih berkeliaran di sini.” Keluhku sambil mengenakan masker debu.

“Kita rapikan saja ruangannya. Lihat! Kursinya berantakan sekali.” Sahut Adam malas juga sambil mengenakan masker debu.

Kami pun bekerja sama merapikan ruangan. Tidak sampai 10 menit ruangan itu beres.

“Apa lagi yang harus kita lakukan? Waktu masih tersisa banyak sekali tapi kita juga tidak boleh masuk kelas.” Aku bertanya sekaligus duduk di samping Adam. Ia sudah meneguk mineral dari botol minuman yang ia bawa. Kemudian ia menyodorkannya kepadaku. Aku menyambutnya dengan senang hati.

“Istirahat saja!” Saran Adam sambil mengemasi botol minuman yang aku serahkan kembali.

“Kalau kita ke kantin, bagaimana?” Tanyaku dengan semangat.

“Mau dikuliti sama satpam?” Jawab Adam sambil merebahkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Bilang saja kita dihukum.” Sambungku masih dengan antusias.

“Dihukum bukan berarti bebas ke kantin, Nindi. Tunggu saja sampai ganti jam dan belajar duduk tenang di sini. Kamu terlalu pecicilan untuk standar perempuan.” Adam menjawab lesu sambil matanya terpejam. Mungkin sebentar lagi ia tertidur.  Aku menyerah membujuk Adam. Bagi Adam tempat yang sepi sunyi adalah surganya tetapi tidak bagiku. Aku benci sekali berada dalam keadaan yang membosankan seperti ini. Karena Adam tampak tidak semangat diajak ngobrol, aku akhirnya memutuskan untuk memeriksa catatan kecilku. Di sana tercatat tugas-tugas yang harus aku kerjakan. Barang-barang yang aku butuhkan dan beberapa coretan tidak berarti lainnya. Aku menghela napas. Beberapa tugas masih belum sempat aku kerjakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang