Bagian satu: Pasien Kecelakaan

48 1 0
                                    

Entah apa yang berubah, senja sore ini terasa berbeda. Hujan turun tiba-tiba. Deras tidak rata. Padahal beberapa menit lalu mentari sore sedang cerah-cerahnya. Hendak tenggelam di antara pucuk-pucuk gedung kota. Sinar  jingga keemasannya menyirami seluru kota. Belum genap mentari terbenam, hujan turun begitu aneh. Begitu pun rumah sakit yang mendadak lebih sibuk dari biasanya bersamaan turunnya hujan.Suasana rumah sakit terasa mencekam. Kesibukan terjadi di mana-mana. Dokter, perawat, pasien, dan pengunjung hilir-mudik seperti lalu lintas kota.

“Darurat! Pasien kecelakaan!” Teriak seseorang. Bangsal UGD riuh oleh sirene ambulans. Seorang pasien lelaki dikeluarkan dari ambulans lalu cepat-cepat dievakuasi ke UGD.  Beberapa alat telah terpasang ditubuhnya. Aku penasaran dengan pasien itu tetapi aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Orang-orang yang mengiringnya menghalangi pandanganku.

Ini bukan pasien biasa. Dia jelas sekali dari kalangan elit. Kalau bukan orang-orang dari pemerintahan, dia pasti pengusaha ternama. Nampak dari iring-iringan yang mengikutinya. Kupikir orang-orang yang mengiringinya itu bukan relasi kerja, tetapi lebih cocok sebagai bodyguard. Tubuh atletisnya menjelaskan itu.

“Siapa pasien itu?” Tanyaku kepada perawat yang berjalan disisiku. Ia juga buru-buru membantu pasien tadi.

“Saya belum bisa memastikan, Dokter Nindi. Maaf.” Jawabnya. Aku hanya mengangguk. Terus berlari ke ruang UGD untuk memberikan pertolongan.

“Izinkan saya menanganinya, Dokter Nindi. Seharian ini Anda bekerja keras. Sebaiknya Anda istirahat!” Seseorang menghadangku di depan pintu UGD, sepersekian detik sebelum aku membuka pintu.

“Oh, baiklah. Terima kasih.” Ternyata dia Dokter Ali. Ia membungkuk kepadaku sebelum masuk ke ruangan.

“Kalau Anda tidak suka, jangan dimakan. Atau Anda bisa menunggu saya agar rasanya jadi lebih nikmat!” Ali menoleh lagi ke arahku sebelum benar-benar masuk ruangan.

“Hah, mak-sud....?” Belum selesai kalimatku, tubuhnya sudah hilang di balik pintu UGD.

Aku benar-benar penasaran dengan pasien itu. Lihatlah! Orang-orang yang datang bersamanya tadi berbaris rapi di depan ruang UGD. Wajah mereka sangat dingin dan misterius. Ditambah dengan pakaian hitam-hitam dan kacamatanya. Itu menambah kesan misterius. Siapa pasien itu? Siapa pun dia, dia pasti sangat berpengaruh.

Aku ingin sekali membantunya tadi. Dengan begitu aku segera mengetahui identitasnya. Namun Ali benar. Hari ini aku berkerja sangat keras. Aku bahkan tidak sempat makan. Kepalaku pun mulai pusing. Baiklah. Pertama-tama aku harus ke ruanganku dahulu untuk mengambil dompet. Kemudian ke kantin. Soal pasien tadi, bisa aku tanyakan besok-besok.  Kalau beruntung aku akan segera mengetahuinya. Toh Ali juga yang menanginanya. Tentu lebih mudah mendapatkan informasi.

Hei, lihatlah! Sudah ada makanan di atas meja kerjaku. Siapa yang meletakkannya? Ah, siapa lagi kalau bukan pria sok tampan itu. Yang selalu tebar pesona ke semua wanita. Mengobral gombal ke sana-sini. Si playboy, Ali. Meski playboy, aku sangat menghargainya sebagai teman. Dia teman yang selalu kuandalkan. Dia juga teman yang perhatian.  Contohnya sekarang, dia menyediakan makanan untukku.

“Hemm, jadi ini maksudnya di depan UGD tadi.”

“Benarkah ini dari Ali? kalau bukan, dari siapa?” Aku tidak punya banyak tenaga untuk berpikir, makanannya pun sungguh menggoda. Soal siapa yang meletakkannya, bisa dipastikan nanti-nanti. Apakah itu Ali atau bukan.

Pukul 21.17 Ali masuk ke ruanganku.

“Bagaimana keadaan pasien tadi?” tanyaku begitu Ali masuk.

“Sudah stabil. Juga sudah dipindahkan di rawat inap.” Jawabnya sambil duduk berselonjor di kursi tamuku.  

“Menurutmu siapa pasien tadi?” Tanyaku penasaran. Aku sedang mengotak-atik laciku. Mencari sesuatu. Namun kefokusanku tidak terganggu. Itulah kelebihanku. Aku bisa mengerjakan lebih dari satu pekerjaan tanpa membuat pekerjaan itu saling mengganggu.

“Pertanyaan macam apa ini? Mana aku tahu. Aku baru tiga bulan di negeri ini. Mengenal rekan-rekanku saja masih kesulitan, apalagi mengenali pasien yang baru datang seperti tadi. Tidak mungkin aku berkenalan dengannya dalam keadaannya yang kritis seperti itu.” Ali mengomel sambil menggeliat di atas kursi. Kalau tidak di depan pasien atau rekan kerja lain, dia memang suka bertindak seenaknya.

“Kamu cerewet sekali semenjak tinggal di Indonesia.” Jawabku ketus. Tanganku sudah mengusap sebuah bingkai foto. Terbingkai foto seorang gadis 7 tahun bertubuh gemuk. Kulitnya putih bersih. Diperindah dengan rambut panjang hitamnya. Ia digandeng oleh anak laki-laki seumuran dengannya, memakai kemeja kotak-kotak. Mereka tertawa bahagia bersama.

Kupejamkan mata agar lebih fokus mengenang peristiwa di dalam foto itu. Aku ingin merasakannya lagi. Namun, seberapa besar pun usahaku, aku gagal mengenangnya. Peristiwa itu sudah lama sekali. Mengingat kejadian di usia 7 tahun itu tidak mudah.

“Dia, siapa?” Tanya Ali sambil menunjuk lelaki dalam foto ketika aku meletakkan foto itu di samping foto keluargaku.

“Teman.” Jawabku singkat.

“Oh. Kamu ternyata jelek sejak lahir ya.” Tambahnya sambil memandang foto dengan seksama.

Aku hanya tersenyum menanggapi gurauan Ali. Tidak bersemangat meladeni.

“Eh, iya. Ngomong-ngomong, kamu tidak mau berterima kasih?” Ali sudah melompat ke topik lain. Cepat sekali otaknya berpikir.

“Terima kasih. Untuk?” Tanyaku bingung.

“Oh, iya. Aku lupa. Makanan itu kan? Terima kasih.” Ucapku tulus.

Ali tidak menyahut lagi. Sudah malas mengomentari. Entah karena tidak tertarik atau sedang lelah. Sebagai balasan dia hanya menyengir. Meski tampan, ekspresi itu sangat menyebalkan. Mungkin maksudnya tersenyum, tapi aku memaknainya sebagai ejekan.

Tentang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang