[Satu]

5.2K 653 64
                                    

Hari pertama cukup ramai. Doyoung bersyukur karena wilayah ini dekat dengan perkantoran dan sekolah. Beberapa mahasiswa datang untuk mendiskusikan tugas kuliah bersama secangkir kopi dan kue kering buatan Doyoung. Para pegawai datang dengan sesama rekan untuk menikmati istirahat siang dengan masakan Korea dan Thailand buatan Ten. Ingat, keluarga sahabatnya itu pernah membuka restoran juga. Karena itu, Ten bisa jadi koki andalan di kafe mereka.

Ten datang dengan nampan kosong, sehabis mengantarkan pesanan di meja nomor tujuh. Ia mendesah lelah, lalu bersandar di bahu sahabatnya. "Awal yang baik," katanya.

Doyoung mengangguk. "Semoga kita bisa terus mempertahankannya, ya," balas Doyoung.

Ten berdeham setuju, lalu mata kedua orang itu kembali tertuju pada para pengunjung. Pengunjung di kafe tempat ia bekerja—untuk menyambung hidup dan biaya kuliahnya ketika di Seoul—dulu lebih ramai dari ini. Ten teringat dia pernah merapalkan keinginannya dalam hati untuk memiliki kafe sendiri suatu saat nanti. Dan, yah, dia memang bisa mewujudkannya sekarang, bersama Doyoung pula. Sungguh bahagia rasanya. Tapi, mengingat lagi bagaimana mereka mencapai semua ini, membuat Ten bergidik.

Ten masih sering mengingat malam itu. Dan, setiap mengingatnya, ia merasakan ketakutan yang teramat sangat. Bagaimana tubuhnya di jamah dan rasa sakit yang di tinggalkan pria itu, benar-benar membuat Ten tersiksa.

Beberapa kali pula ia sempat mendapati Doyoung terbangun dari mimpi buruk di malam hari. Kemudian sahabatnya itu segera menuju kamar mandi dan membasuh diri. Ten sangat tahu hal apa yang dimimpikan Doyoung kala itu. Ia juga tahu, mereka berdua memiliki ketakutan dan rasa sakit yang sama.

Ten meraih tubuh sahabatnya, memeluk Doyoung.

"Ada apa?" kedua alis Doyoung mengerut bingung, mendapati perlakuan tiba-tiba dari Ten.

Ten hanya menggeleng, lalu mengulas senyum tipis. "Aku hanya merasa lega karena kita sudah meninggalkan Seoul, dan hidup tenang di kampung halamanmu ini."

Doyoung terkekeh, lalu membalas senyuman sahabatnya. "Ya," tanggapnya.

Lonceng kecil didepan pintu kafe berdering, tanda ada pelanggan baru. Ten dan Doyoung segera memisahkan diri dari pelukan mereka.

"Selamat siang." Ten bergegas menyambut pelanggan itu.

"Selamat datang di TenDo kafe." Doyoung mengikuti sahabatnya.

Dua orang pemuda yang memasuki pintu kafe dan menerima sapaan ramah kedua sahabat manis itu. Yang satu berambut hitam dan satu lagi berambut cokelat. Menatap kepada Ten dan Doyoung, lalu balas tersenyum.

"Silahkan duduk, saya akan mengantarkan menunya untuk Anda," kata Ten mempersilahkan.

Kedua pemuda itu mengangguk, lalu berjalan menuju satu-satunya meja kosong yang tersisa di sana. Doyoung dan Ten memang tidak menyediakan banyak meja, karena tempat yang agak sempit.

Ten mengambil menu di atas meja, lalu menyikut lengan Doyoung pelan. "Mereka pengunjung hot pertama kita," bisiknya pada sang sahabat.

Kening Doyoung mengerut. "Maksudmu?" tanyanya.

"Kau tidak lihat?" Ten menunjuk lewat lirikan mata. "Tinggi dan tampan. Biar kutebak, mereka pasti seumuran dengan kita."

Doyoung merotasikan kedua bola matanya, mendengar ocehan Ten. "Kau ini! Fokus saja pada pekerjaan kita."

Bibir Ten mencebik. "Aku juga sedang menikmati pekerjaanku, tahu," katanya, lalu berlalu menuju meja kedua orang itu. "Silahkan," ujarnya sembari memberikan daftar menu.

Devils Around UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang