Subuh sekali ayah bangun dari kelelapan tidurnya. Di saat orang lain sedang menikmati betapa enaknya tidur malam, seringkali ayah harus banting tulang di dapur. Dia adalah seorang pedagang kaki lima. Jam dua ayah bangun, terkadang ke masjid dahulu untuk shalat malam. Dilanjutkan dengan membuat bahan dan meracik bumbu untuk makanan yang dijualnya, batagor khas makanan Sunda. Ibu pun sering membantu, meski jadwal bangunnya lebih lama dua jam dibandingkan ayah. Karena kehidupan kami yang penuh kerja keras, akhirnya ibu pun mengajarkan kami untuk menjadi anak pekerja keras. Dalam hal menggaet nilai di sekolah pun aku tak pernah dibolehkan untuk melihat isi jawaban orang lain. Seburuk apapun jawaban dari setiap pertanyaan, itu lebih baik dari pada jawaban bagus tapi hasil nyontek.
Dalam hal apapun, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuk ayah dan ibu. Sebagai orang sederhana, aku menyadari posisi. Jangan pernah gengsi untuk berjalan maju dalam apapun, apalagi dalam hal kebaikan. Aku selalu ditunjuk untuk membawakan acara dalam sebuah pertunjukan oleh pihak sekolah dan pihak pengajian. Seringkali dipilih sebagai vocalist dalam penampilan nasyid dan marawis di pengajian. Dan itu benar-benar kegiatan yang menjadi hobbyku. Namun, untuk mengeluarkan suara aku tak pilih-pilih. Jazz? Ayo! Sunda? Siap! Dangdut? Oke! Shalawat? Apalagi! Hanya satu yang belum aku terjuni. Qiroat. Ya, seharusnya aku malu dengan suara yang orang bilang suara emas tetapi belum mahir melantunkan lafadz Al-Qur'an.
Aku ingin berubah. Berubah segalanya. Mengubah kehidupan, kepribadian, keadaan, segalanya. Tetapi selalu saja ada alasan yang menjadi penghalang. Shalatku masih di akhirkan, dzikir pun kadang tak tersebutkan, lebih banyak membuka ponsel daripada Al-Qur'an, lebih banyak mendengar musik yang berdendang daripada lantunan merdu Al-Qur'an. Ketika semua hal itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, aku selalu menyesal. Kenapa aku tak dilahirkan dari keluarga yang memeganh teguh syariat Islam? Kenapa ayah bukan ulama? Bukan ustadz? Kenapa ibu bukan hafidzah? Bukan pula ustadzah? Astagfirullah. Setelah itu pula aku selalu beristighfar. Menyesali takdir dan bagian yang Allah beri.
Sekali waktu aku sempat membuat ibu marah besar karena perkataanku yang kurang terkontrol.
"Kenapa keluarga kita gak berpendidikan tinggi, sih, Bu? Nilai, moral, agama, segalanya kurang. Seburuk itukah hidupku?"
Ibu terhenyak mendengar ucapanku. Dia hendak mengeluarkan butir embun di sudut pandang matanya. Hampir saja dia membantingkan sendok yang dipegang ketika makan menuju arahku. Ketika gerakan sendok itu melayang, aku langsung pergi ke kamar. Aku tak mau diajak berbicara sekitar satu minggu karena pendidikan tak dapat diteruskan. Kemarahan yang meledak. Membuat napas semakin tersendat. Hingga akhirnya aku berhenti berharap.
Pagi itu, ayah membereskan barang dagangan. Ibu menuangkan bumbu ke dalam wadah yang lumayan besar.
"Maira, tolong ambilkan lap kecil di dapur!" titah ibu seraya membolak-balikan sendok dan wadah.
"Maira sedang belajar, Bu," keluhku.
"Belajar apa? Kamu udah nggak sekolah. Bantu ibu dulu, cepat!" Nada bicara ibu semakin meninggi. Aku tahu dia lelah, sehingga ucapannya sekeraa itu.
"Aku kan ngaji, Bu. Memangnya belajar untuk yang sekolah saja? Lagian, itu bukan tugasku, itu tugas ibu!"
Jawaban yang menantang membuat kemarahan ibu tak dapat ditahan.
"Maira! Kalau kamu ngaji, pasti tahu bagaimana akhlak kepada orang tua. Bukankah keridhaan seorang anak ada pada orang tuanya?"
Aku diam. Begitu pun ayah. Sudah satu minggu aku sulit diatur. Kekecewaan yang mendalam karena putus sekolah membuat ku menjadi anak yang keras kepala.
"Astagfirullah," desahku berkali-kali.
Tak seharusnya perkataan yang membuat hati ibu teriris keluar begitu saja dari mulutku. Tetapi tak dapat dipungkiri, aku tak mau terus seperti ini. Disaat teman satu perjuangan melangkahkan kakinya untuk mencari ilmu ke sekolah, aku hanya diam rumah. Melirik dari kaca jendela sepatu baru mereka yang seolah menyombongkan kilaunya atas sendal lusuhku diluar. Rintikan air mata itu jatuh terus menerus. Tetapi, ayah dan ibu tetap tidak mengerti. Pendidikan bagi mereka hanya jembatan untuk mendapat pekerjaan. Namun, bagiku pendidikan adalah hal utama dalam kehidupan.
Ketika orang lain berada di sekolah, aku sering berlari ke madrasah untuk sekadar membaca kitab gundul yang tak ku pahami isinya. Buku tajwid yang sering dipakai Akang untuk mengajar dipegang olehku. Aku menelaah isinya. Mencoba memahami satu persatu. Jangan sampai pikiran terlalu kosong karena tak masuknya ilmu dalam ingatan. Setiap hari, aku menjadi anak madrasah. Sendirian, tanpa teman.
Tbc
***
Jangan lupa tinggalkan jejak ya😄😄😄
Salam manis dari DeaWidiaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira
SpiritualGadis yang baru saja hijrah dari kehidupan lalu yang abu itu bernama Humaira. Ia mengenal cinta setelah berada di sebuah pesantren di Tasikmalaya yang jauh dari rumahnya. Setiap hari ia mencoba melupakan benih yang bertaburan dalam dirinya. Mengemba...