New York, selalu terasa seperti pengulangan bagiku; tidak ada ketenangan yang bisa kudapatkan di sini. Kemacetan lalu lintas, padatnya manusia, tidak pernah berakhir. Kadang kala aku suka berpikir, mengapa aku memilih kota ini.
Mungkin ada dua pilihan mengapa orang-orang memilih New York. Sebagian dari mereka adalah pencari kesenangan — atau bahkan kebahagiaan, dan sebagian yang lain hanya karena tuntutan. Aku tidak bisa membagi mana yang lebih menonjol dari satu dengan yang lainnya. Karena di New York, antara kesenangan dan tuntutan hidup, keduanya seimbang banyaknya.
Aku masuk ke dalam kategori tuntutan. Aku dituntut untuk melanjutkan hidupku di kota ini. Karena aku tidak punya pilihan lain. Benarkah? Aku tidak tahu, kurasa begitu. Tapi apabila ada pilihan lain seperti; melarikan diri misalnya, mungkin aku akan lebih cocok di dalam kategori itu.
Kulayangkan kedua mataku ke arah jendela besar yang menghadap ke jalan Madison Ave. Orang-orang berlalu lalang di atas trotoar, begitu terburu-buru seolah nyawa mereka sedang dipertaruhkan pada setiap detiknya. New Yorkers, pikirku. Ada yang menarik perhatianku, kulihat seorang wanita dengan penampilan seakan-akan dirinya itu adalah etalase toko berjalan sedang mengalami kesulitan memegangi kantong-kantong belanjaannya, sementara dirinya menerima panggilan telepon.
Aku berani bertaruh, pasti harga kacamatanya saja seharga sewa apartemenku di sini.
Namun, tiba-tiba pandanganku terblokir sesuatu.
Ada dua lembar kertas berbentuk persegi panjang melambai-lambai di hadapanku. Di sampingnya, seulas ekspresi puas bercampur gembira tertempel di wajah Amber."Apa ini?" tanyaku. Meskipun mungkin sebenarnya aku sudah tahu apa itu. Kulempar lap kotor ke samping meja. Lalu kusambar kertas itu dari tangannya. Ketika aku melihat tulisan yang tertera di tiket tersebut, kedua mataku otomatis terbelalak.
"Wow! Kelas festival?" seruku kepada Amber yang menganggukkan kepala dengan bersemangat kemudian. "Well, kau sudah dapat tiketnya, selamat bersenang-senang." Lalu kusodorkan tiket-tiket itu kembali kepadanya.
Amber meraihnya sambil mendesah keras. "Ayolah! Jangan bilang kau tidak bisa untuk yang ini." Lalu dia merajuk seperti anak kecil. "Kau harapanku satu-satunya, Lana!"
"Kau yakin tidak ingin mengajak seseorang yang lebih menyenangkan daripada aku?"
Amber menggelengkan kepala dengan mulut cemberut. "Aku tidak punya seseorang yang lebih menyenangkan," katanya dengan nada lirih yang dibuat-buat.
Tawaku pun pecah. "Ah, aku tersanjung mengetahui ternyata akulah satu-satunya seseorang yang menyenangkan," candaku, lalu tergelak lagi.
Amber menepuk keras lengan bagian atasku.
"Aw! Adanya kekerasan fisik artinya aku tidak akan ikut!"
"Oke, maafkan aku! But please... Lana Riversong yang seksi nan cantik rupawan. Aku menurunkan harga diriku di bawah kedua kakiku demi mu."
Kulirik Amber yang kali ini sedang mengerjap-ngerjapkan bulu matanya dengan gerakan dramatis kepadaku.Aku mendesah kencang, kemudian menimbang-nimbang semua ini.
Governors Ball Music Festival, itu artinya sebagian besar band terkenal dunia akan berkumpul di sana.
Dari band-band legendaris papan atas sampai band-band pendatang baru yang kepopularitasannya sedang di atas angin dan digandrungi di seantero jagat raya. Ada satu band yang sedang naik daun akan turut mengambil andil di tahun ini. Itulah yang menjadi alasan terbesar bagiku enggan hadir di acara musik itu.Namun di sisi lain, aku tidak tega melihat Amber yang sudah bersusah payah berjuang untuk mendapatkan tiket-tiket tersebut dari satu bulan yang lalu — hanya karena ingin mendapatkan tempat paling depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Heart Speaks [Tamat] ✔
Romance(Cerita ini dipindahkan ke KaryaKarsa) http://www.karyakarsa.com/irmarosewrites Lana Riversong, memutuskan pergi ke New York untuk membangun kembali kehidupannya yang telah hancur di tempat asalnya, Santa Monica, California. Suatu hari Amber, teman...