THE WIFE - CHAPTER 1

14.8K 1.4K 550
                                    

"Kamu datang dengan wajah lesu, sebungkus rokok, dan segudang masalahmu, terus kamu ajak saya duduk di sini, mengabaikan jam pelajaran, membiarkan murid-murid belajar sendiri, sementara saya harus mendengarkan keluh kesahmu tentang pernikahan, selagi saya sendiri masih sebal saat orang-orang kejam itu bertanya, kapan kamu menyusul Faisal?"

"Ya!" Jawab Faisal datar.

"Saya tidak bisa kasih solusi. Saya akan dengarkan dengan baik, tapi sebagai bujangan, saya sama sekali tidak akan memberi tanggapan. Mengerti?"

"Ya!" Jawab Faisal datar. Lagi.

Saya perbaiki kursi di ruang guru. Duduk santai agar suasana tidak kaku, dan agar teman saya yang satu ini bisa curhat tanpa merasa malu.

"Jadi... ada apa?" Tanya saya.

BEGINI

"Seperti yang kamu tahu, Dan. Aku sudah menikah. Proses akad dan resepsinya dilakukan di Banyuwangi; di kota kelahiranku sendiri. Aku bahagia--mohon untuk tidak tersinggung--tapi, menikah itu lebih nikmat daripada membujang. Aku dapat istri cantik. Rumah untuk ditempati yang merupakan hasil kerja kerasku selama ini. Pekerjaan yang layak seperti yang kuidam-idamkan selama duduk di bangku kuliah. Mobil baru. Motor baru. Tetangga yang baik. Lingkungan yang ramah. Semua itu serasa terlalu indah untuk jadi kenyataan."

"Faisal..."

"Ya, Pak Danil?"

"Kamu lebih mirip pamer daripada curhat. Kampret!"

"Oh, maaf."

"Terus, masalahnya dimana?"

"Ah, iya. Masalahnya ada pada..."

ISTRIKU

Hari pertama menikah, istriku jarang sekali bicara. Bahkan saat kuajak ngobrol pun, dia hanya menjawab seperlunya. Entah itu 'iya,' atau 'tidak', atau kalau tidak keduanya, biasanya cuma senyum.

Awalnya aku pikir itu wajar. Mungkin dia masih malu karena sebelum menikah kami memang tidak pernah bertemu. Aku mulai merancang strategi pendekatan setelah membaca buku berjudul 'pacaran setelah menikah'.... sekali lagi aku tidak bermaksud menyinggungmu, Danil. Tapi pacaran setelah menikah itu sangat nikmat dibanding pacaran tapi tidak jadi menikah.

Ya, aku bisa mendengar kata "kampret" yang kamu bisikkan barusan, tapi memang begitu kenyataannya.

Hari ketiga, aku mulai merasa janggal. Istriku semakin jarang bicara dan kali ini sudah sampai pada tingkatan cuek. Dia juga jarang menjawab saat aku sapa. Kecuali obrolan yang memang benar-benar penting. Itupun dijawab sepentingnya saja.

Saat aku tanyakan alasannya. Dan, apakah aku punya salah, dia hanya senyum sambil geleng-geleng kepala. Sampai akhirnya, suatu malam... Aku melihat istriku bicara sendiri pada gudang kosong yang gelap, yang pintunya terbuka walau kuncinya aku sembunyikan. Bayangkan... belum satu minggu tapi istriku sudah bersikap aneh seperti itu.

DIA BICARA SENDIRI

"Faisal..."

"Ya, Pak Danil."

"Mungkin istrimu butuh piknik."

"Tepat sekali! Oh, maaf kalau aku sampai tunjuk-tunjuk muka. Aku sempat memikirkan hal seperti itu."

KARENA ITU

Hari keempat kuajak dia shopping ke pusat perbelanjaan. Aku bilang kalau dia boleh beli apa saja yang dia mau. Istriku tersenyum senang. Sumpah baru pertama kali itu kulihat dia tersenyum lepas. Bukan senyuman untuk membuatku senang. Tapi senyuman bahagia. Tentu saja akupun bahagia.

MIDNIGHT EXPEDITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang