DEPAN KUBURAN CINA - CHAPTER 2

8.5K 823 198
                                    

Hari yang sama. Saya terpaksa lewat jalur alternatif, demi menghindari lewat Kuburan Cina. Atau lebih tepatnya, menghindar dari rumah itu. Saya tidak sendirian, Erik mengikuti dari belakang. Dia teman yang setia, selagi tidak ada masalah. Berani bertaruh, kalau sampai dia melihat si bapak demit itu lagi, dia pasti putar balik ke barat, meskipun rumahnya di timur.

Sedikit lagi saya sampai di Asembagus. Setelah kejadian di tempat parkir tadi, saat Erik mengaku melihat si Bapak Demit sedang duduk di motor saya, saya bertekad untuk mengantarkan setan darat ini ke tempat yang dia mau. Tapi, tidak semudah itu. Saya memberi aba-aba untuk menepi. Kami berhenti di depan kios bensin.

"Kenapa, Dan?”

"Saya bingung. Bapak itu minta diantar ke Asembagus, tapi daerah mana? Asembagus kan luas.”

"Tanyakan saja sama Bapaknya!”

“Gila, kamu!”

“Lah, dia kan penumpang Kamu, Dan. Tanggung jawab, lah! Kamu mau dikasih review bintang satu?”

“Tapi ini ide Kamu, kan? Sejak awal saya sudah enggak setuju. Saya jadi ngerasa seperti orang gila, tahu!”

Erik berpikir sejenak, lalu menjentikkan jari.

“Kita bawa saja ke Kuburan Pribumi!” Usulnya, mantap.

Saya setuju saja, karena memang tidak punya pilihan lain. Saya melanjutkan perjalanan sambil termenung. Dari Kuburan Cina ke Kuburan Pribumi … Gila! Kuburan saja bisa rasis begitu?

Tapi sungguh, dua kuburan itu memang benar adanya, memang begitu sebutannya. Terlepas dari apapun sebutan warga, isinya tetaplah jasad manusia. Pada akhirnya, mereka terurai di tanah air Indonesia. Ah, pesan moral ini.

Akhirnya, kami sampai di Kuburan Pribumi. Tempat pemakaman umum yang tak kalah luas dengan Kuburan Cina. Bedanya, lokasi Kuburan Pribumi masih berdekatan dengan pemukiman warga, jadi saya tidak terlalu was-was. Kecuali … sekarang Erik mulai mengoceh.

“Dan, Kamu ingat cerita tentang nenek-nenek bermata merah yang sering duduk di atas pohon cempaka, di kuburan ini?”

“Diam, Kampret! Di Kuburan Cina tadi, kamu bilang hantunya pengantin, kenapa giliran kuburan Pribumi, hantunya malah nenek-nenek?”

Kami terdiam. Mulai sadar kalau hari sudah semakin malam. Jam di ponsel menunjukkan angka 22.30, dan saya masih belum tahu apa yang harus dilakukan.

“Terus gimana, nih?”

“Ya, suruh turun!”

Benar-benar gila. Saya mendongkrak motor, lalu berlagak seperti seorang supir yang sedang mempersilakan tuannya turun dari motor, menuju kuburan, dan tak ada respon apa-apa kecuali embusan angin, karena memang saya tidak sedang membonceng siapa-siapa. Bingung? Bayangkan betapa canggungnya wajah saya sekarang.

“Oke, cukup! Kita pulang.”

***

Tengah malam. Saya tidur lebih cepat dari biasanya. Lelap sekali, seolah tak punya beban. Hanya saja, tiba-tiba saya terbangun. Rasanya badan ini panas sekali walau kipas angin sudah berputar maksimal, dan lehernya sudah saya buat kaku.

Merasa ada sesuatu yang akan bocor, saya bergegas ke kamar mandi. Tidak boleh ada adegan Mahasiswa ngompol dalam cerita horor.

Kamar mandi ada di belakang, berseberangan dengan garasi. Saat hendak memasuki kamar mandi, saya melihat cahaya kelap-kelip dari garasi. Warnanya kuning kemerahan, memantulkan bayangan motor dan benda-benda sekitarnya ke dinding.

“Maling?”

Pelan-pelan saya mendekati sumber cahaya. Pelan-pelan juga rasa ingin buang air kecil ini sirna. Begitu sampai di garasi, saya bersyukur karena ternyata bukan maling, sekaligus takut karena ini tidak masuk akal. Lampu sein motor saya hidup. Kelap-kelip di sebelah kiri. Kunci motor memang tidak pernah saya cabut, karena pintu garasi sudah cukup aman.

“Siapa di situ?” Hardik saya, setengah takut.

Lagi-lagi saya ingin pipis. Mulut saya mengancam, tapi kaki saya mundur. Saat saya pikir ini sudah sangat seram, saya melihat sosok itu di sudut garasi. Si bapak demit berdiri di sana. Sosoknya terlihat setiap kali lampu sein menyorotnya. Mati, hidup, mati, hidup, dan setiap kelip lampu sein, bapak demit itu semakin mendekat.

Saya lari, masuk kamar, kunci pintu, meraba-raba kasur mencari ponsel.

“Halo, Erik?”

“Apa, Kudanil? Enggak sopan telepon orang jam segini.”

“Bapak Demit itu masih ada, Kampret. Dia ngikutin saya sampai ke rumah.”

“Serius? Kamu enggak lagi mimpi, kan?”

“S-E-R-I-U-S!”

“Oke, kalau gitu, tinggal cara terakhir.”

“Apa?”

“Besok kita harus ke sana?”

“Kemana?”

KE RUMAH ITU!

***

Esoknya, sepulang kuliah, pukul 21.00 WIB. Perjalanan pulang saya berubah jadi kompetisi dungu, karena baik saya maupun Erik saling berebut mengemudi di depan, agar ada yang mengawasi dari belakang.

Dalam kasus saya, hal ini wajar, tapi kenapa Erik jadi ikut-ikutan? Berkali-kali dia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang menumpang.

“Oy, Kampret! Yang diikuti saya, kenapa Kamu yang takut?”

“Oy, Monyet! Motorku lebih bagus dari punyamu, bisa saja si Bapak Demit itu pindah tumpangan.”

Perdebatan itu berlanjut sampai memasuki daerah Arjasa, dan kompetisi pun berubah. Sekarang, kami sama-sama memelankan motor, berebut siapa yang paling belakang. Kiri dan kanan yang tampak hanya pepohonan tinggi berbaris rapi, yang sela-selanya seakan membentuk lorong alami memanjang ke dalam Hutan Jati.

“Erik, kamu yakin ini akan berhasil?”

“Enggak. Lagian, berhasil atau tidak, enggak ada pengaruhnya sama aku, kan?”

“Eh, gila! Ini idemu, lho!”

“Sudahlah, Dan! Apa salahnya dicoba.”

Kami sampai di tempat tujuan. Rumah kosong di depan Kuburan Cina. Sejujurnya, kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami sepakat untuk diam sebentar. Menunggu petunjuk tentang apakah Bapak Demit itu sudah pergi, atau masih betah jadi penumpang abadi.

“Dan, kemarin Kamu bilang rumah ini masih kosong, kan?”

"Iya, sepi. Cuma lampu di depan ini saja yang nyala."

“Terus, dua perempuan yang berdiri di jendela kaca itu siapa?”

Erik menunjuk dua sosok berambut panjang, berbaju putih, sedang berdiri di balik jendela kaca.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MIDNIGHT EXPEDITIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang