Lembar #1

1.5K 170 27
                                    

"Hoi, Lang! Melamun aja lo!"

Elang menghela napas. Cowok itu menatap sahabatnya yang tadi menegur. Elvan namanya. Elang sekilas melirik pada Saka yang terkekeh di tempatnya. Elang mendengus, merutuki hobi Elvan dan Saka. Mengganggunya.

Saat ini, mereka bertiga sedang ada di studio musik milik kakaknya Saka. Elang bukan anak band, main alat musik saja dia tidak bisa. Tetapi Elang menyukai musik, kebetulan sekali dia punya sahabat yang jago main alat musik.

Sepulang sekolah Elang selalu menemani Elvan dan Saka di sini. Elang beruntung karena orang tuanya tidak selalu mengekangnya. Elang boleh pulang kapan saja asal tidak lebih dari jam 9 malam.

"Apaan sih, kalian! Latihan aja sana. Gue sibuk." Elang cemberut. Padahal sebenarnya tadi dia tidak melamun, cuma pikirannya yang melayang kemana-mana, eh?

"Aelah, gayaan lu, Nyet. Ngapain sih melamun mulu, sini deh gabung aja. Kayak pejabat aja lu." Elvan menggenjreng gitarnya. Mencari nada yang sesuai.

"Sak, mainin lagu kesukaan gue dong, pakai piano lo. Gue mau tidur, ngantuk."

Elvan menatap Saka. Saka mengangkat bahunya tak peduli. Sebelum akhirnya beranjak menuju piano putih di sudut ruangan.

Satu persatu Saka menekan tuts piano. Membentuk melodi yang selaras. Sementara Elang mulai menyamankan diri di sofa ruangan. Alunan yang dimainkan Saka membuat matanya semakin lama memberat.

Telinga Elang berdenging sesaat. Sebelum akhirnya hening menyapa. Tidak menunggu waktu yang lama, Elang sudah tenggelam ke dunia mimpinya.

***

"Om Dave!"

Dave sedang berbincang dengan Kean saat mendengar suara cempreng memanggilnya. Tanpa menengok pun dia sudah dapat mengenali siapa orang itu, keponakannya.

Suara gedebug keras di lantai menunjukkan Elang sedang berlari. Dave melihat Kean meringis takut Elang terjatuh, namun tidak mengatakan apapun karena setelahnya Elang sudah tiba di sana. Dave terkekeh pelan. Sejak dulu adiknya belum berubah, masih sangat protektif pada Elang.

"Om kapan datang?"

Elang menyalami Papanya berlanjut pada Dave. Cowok itu kemudian duduk di sisi sofa yang kosong. Senyumnya terkembang lebar.

"Terus Papa kok tumben udah pulang?"

Dave merangkul bahu Elang. Mengusap belaian rambutnya. Ada rasa jantungnya seperti di remas-remas setiap melakukan hal ini.

"Enggak pernah berubah ya, kamu. Dari dulu masih aja aktifnya nggak ketulungan."

Elang nyengir. Menurut cerita Papanya, sejak kecil Elang sudah suka lari-lari dan banyak gerak.

"Om nginap di sini, kan?"

Dave menggeleng. "Lain kali aja ya, Lang. Besok Om masih ada meeting. Tadi Om enggak sengaja lewat sini, soalnya client Om ngundang ke rumahnya, jadi sekalian mampir aja."

"Yah." Elang mendesah. Kecewa. Bibirnya manyun dan pipinya menggembung. Matanya memandang ke bawah, mengamati kakinya yang masih terbalut sepatu.

Dave mencubit pipi Elang. Biar enggak gendut-gendut amat, tapi pipi Elang itu termasuk cubit-able banget. Pria itu tertawa karena keponakannya semakin kesal.

"Elang, kamu masuk. Ganti baju, terus makan. Papa mau ngomong sama Om Dave."

"Iya Pa." Elang berdiri. Cowok itu berjalan dengan langkah pelan menuju kamarnya di lantai atas. Sayup-sayup masih terdengar suara Kean dan Dave hingga akhirnya teredam begitu dia menutup pintu kamar.

Setelah berganti pakaian, Elang tak langsung turun untuk makan seperti apa yang Kean perintahkan. Cowok itu menghampiri meja belajarnya. Membuka laci dan menemukan buku yang menjadi teman kesahariannya beberapa minggu ini.

Elang sejenak mengusap sampul depan buku itu. Membayangkan seseorang yang memiliki sebelumnya. Elang tidak pernah bertemu dengan Pamannya yang memiliki nama yang sama dengannya itu. Kata Kean, Om Elang meninggal karena sakit. Dan untuk mengenang adiknya, Papa memberikan dia nama yang sama.

Dari kata-kata yang pernah dia baca dalam buku itu, seolah Pamannya telah mengalami hal yang menyakitkan. Dan Elang tidak tahu apa itu.

Elang menghela napasnya. Membuka buku itu tepat di halaman kosong yang dia beri pembatas. Elang mengambil bolpoin dari kotaknya. Sesaat cowok itu hanya fokus pada kegiatannya.

Beberapa menit kemudian Elang selesai. Dia menyimpan buku jurnalnya di laci kembali. Dia tidak mau mengambil resiko kehilangan buku itu karena sembarangan menaruh. Setelah itu dia beranjak keluar kamar menuju ruang makan.

***

"Asa udah tidur, Ma?" Elang bertanya pada Rinjani yang duduk di depannya. Setelah tadi menghangatkan makan malam untuk Elang. Rinjani mengangguk, kemudian menuang air minum untuk putranya.

Sebenarnya Rinjani tahu kalau Elang merasa risih. Bahkan Elang sudah pernah menyuarakan ketidaknyamanannya. Tapi memang dasar Rinjani yang bebal, wanita itu tetap memperhatikan Elang bagaikan balita. Pelan-pelan akhirnya Elang pasrah saja.

"Tumben banget. Biasanya jam segini masih mainan."

"Agak panas badannya tadi. Tapi udah enggak apa-apa, kok. Kamu tenang aja, enggak usah khawatir."

Elang mengangguk. Kalau Rinjani tidak mengatakan hal itu, mungkin sekarang Elang sudah lari ke kamar adiknya.

"Sekarang kamu makan dulu, ya."

"Kok sepi banget, Ma? Om Dave udah pulang ya? Papa kemana?"

Rinjani menatap putranya yang tidak mengalihkan pandangan dari makanannya. Hal ini menjadi kegemaran baik bagi Rinjani maupun Kean, atau siapapun yang pernah mengenal Elang. Wajah putranya itu benar-benar mengingatkan mereka semua pada orang yang mereka sayangi.

"Ma?"

Tidak kunjung mendapat jawaban, Elang mendongak. Menemukan Rinjani yang menatapnya lekat. Elang dapat melihat kerinduan dari mata wanita itu.

"Mama kenapa?"

Rinjani tersenyum. "Enggak kenapa-napa, kok. Om Dave barusan aja pulang, Papa kamu lagi di ruang kerjanya."

"Papa deh kebiasaan banget, di rumah tapi tetap aja ngurung diri sama kerjaan."

Rinjani menjulurkan tangannya ke depan, mengusak rambut hitam Elang.

"Mama ke kamarnya Asa sebentar ya? Kamu enggak apa di sini sendirian?"

"Ya udah sih, Ma. Mama masuk aja. Aku udah gede kok, enggak perlu ditemani makan terus."

Rinjani menekuk bibirnya. Matanya meredup dan wajahnya berubah sendu. Hal yang tidak pernah dia sukai dari putranya.

"Kok kamu gitu sih ngomongnya?"

"Ya, nggak gitu maksudnya, Ma. Maksud aku tuh, aku nggak papa kok di sini sendirian. Lagian ngapain takut, kecuali kalau ada hantu di sini."

Elang terkekeh pelan. Rinjani tersenyum melihat wajah berbinar Elang. Putranya itu terlihat sangat bahagia, mimik yang nyaris tidak pernah dia dapati dari Elang di masa lalunya.

"Ya udah, Mama tinggal ya?"

"Iya, Ma."

Elang menghela napas begitu Mamanya sudah tidak dapat dilihat matanya lagi. Cowok itu kembali melanjutkan makannya yang sempat terhenti.

Terkadang Elang jadi gemas sendiri dengan kelakuan orang tuanya. Dan juga Dave, Fadly dan Vidya.

"Apa dulu Om Elang juga begini ya?"

T o  B e  C o n t i n u e

Jangan lupa vote dan komennya yaa...

Jenny Evelyn
29 Oktober 2018

Catatan ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang