Dinginnya angin pagi ini tidak pernah menghentikan semangat Bethany untuk mengumpulkan kepingan dolar demi menyambung hidup sehari-harinya. Ibunya hanya seorang penjahit dengan penghasilan yang tidak pasti tiap harinya. Terkadang untuk membeli makan pada hari itu saja sudah cukup.
"Kau tidak ingin libur satu hari saja, Beth? Seminggu ini kau sudah bekerja terus," Nyonya Lynch menatap putri semata wayangnya ketika gadis itu hendak pergi bekerja.
"Mom, percetakkan koran tidak mengenal hari libur. Setiap hari ada berita hangat yang disajikan oleh mereka. Lagipula jika aku libur satu hari, artinya hari ini kita tidak bisa makan."
Nyonya Lynch menghembuskan nafasnya berat, "Jangan terlalu lelah untuk mengumpulkan uang, Beth. Jagalah kondisimu."
Bethany hanya memutar mata dan menatap wajah sendu Ibunya, "Mom, aku ini sehat. Jangan berkata seolah-olah aku memiliki penyakit yang tidak wajar. Aku berangkat dulu, Mom. Aku tidak mau kehilangan dolarku sedikitpun untuk hari yang cerah ini. I love you!"
"Hati-hati, Beth. I love you too, Sweet Heart."
**
"Beth!"
"Hi, Ash! Kau tidak libur?" tanya Bethany pada teman seperjuangannya sebagai loper koran di kios milik Paman Sam. Ashton menggeleng, "Kau sendiri?"
"Sayang jika aku harus kehilangan dolarku dipagi yang cerah ini, Ash," jawab Beth diselingi tawa.
"Kau mendapat berapa kantung, Lynch?" Ashton bertanya dengan menghitung gulungan koran di dalam kantung miliknya.
"Hanya lima. Kau, Irwin?"
"Tujuh. Ini terlalu banyak jika dibanding minggu kemarin, aku hanya berharap pagi ini semua orang ingin tahu apa yang sedang hangat diberitakan."
Melihat Ashton lesu seperti itu, Beth menepuk pundaknya dan berkata, "Harusnya kau bersyukur karena diberi tujuh kantung. Itu artinya sore nanti kau akan mendapat upah lebih dibanding minggu lalu."
"Kau selalu bisa membangkitkan semangatku, Beth. Semoga Tuhan memberkati koran-koranmu pagi ini. Aku pergi dulu, see you later!" Ashton meninggalkan Bethany di depan kios milik Samuel itu. Bethany tersenyum karena temannya bersemangat seperti dirinya pagi ini. Ia menghampiri sepeda yang selalu menemaninya mengantar koran dan mulai mengayuh menuju perumahan tempat biasanya ia berjualan.
**
Luke Hemmings
Aku melirik arloji yang berada di tangan kiriku, pukul sembilan. Semalam aku pulang larut karena menyelesaikan beberapa hal penting bersama ketiga partnerku. Entahlah, aku hanya ingin bermalasan hari ini. Aku menuruni anak tangga dan berjalan menuju dapur untuk membuat kopi di pagi ini.
Hampir satu minggu sudah aku berada di perumahan ini. Mungkin mereka pikir aku adalah pembunuh berdarah dingin, atau mungkin vampir karena aku jarang keluar rumah. Terkadang aku tertawa ketika memikirkan hal itu. Aku bukanlah pembunuh berdarah dingin maupun vampir, aku hanya manusia biasa. Aku hanya sedikit tertutup belakangan ini.
Samar-samar aku mendengar teriakannya dari jauh. Gadis itu sudah berada di perumahan ini.
Lalu aku berjalan menuju ruang tamu dan mengintip sedikit dari balik tirai berwarna sejuk ini. Gadis itu sedang turun dari sepeda yang biasa ia tunggangi. Kulihat ia sedikit ragu untuk berteriak seperti di rumah-rumah tetanggaku. Ia mengambil satu gulungan koran dan berjalan masuk ke pekarangan rumahku, lalu meletakkannya begitu saja tanpa berkata sepatah katapun.
Kulihat ia berbalik dan mengayuh lagi sepedanya.
Aku memutar kenop pintu dan membiarkan terpaan angin menghantam tubuhku. Sungguh dingin. Lalu aku mengambil gulungan koran itu. Dahiku mengernyit ketika melihat sebuah kertas kecil dengan coretan tinta bolpoin merah.
"Tolong keluarlah, Mr.Hemmings. Aku selalu takut untuk berteriak di depan rumahmu, loper koranmu."
Aku tertawa membacanya.
***
haloooo, maaf ya late update soalnya sekolah udah mulai sibuk-___- oya emang aku buat chapter ini banyak narasinya dibanding percakapannya. maafkan aku:(( aku harap kalian suka. leave vomments buat chapter ini please? aku sayang kalian, readers:* /kecup basah dari pacarnya luke/
dinah<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Newspaper
FanfictionGadis itu hanya loper koran tapi aku menyukainya. Hingga akhirnya ia menghilang dan tidak lagi menampakkan bahkan mengirimkanku segulung koran harian. Aku menyesal karena tidak mempunyai banyak keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya. © 2014 b...