Ini adalah kisahku ketika aku masih duduk di bangku sekolah. Saat itu aku sangat berusaha keras demi kehidupanku di masa depan. Belajar dengan giat dan mencetak prestasi sebanyak mungkin agar bisa diakui semua orang. Meski aku masih tidak tahu apa tujuan hidupku yang sebenarnya nanti. Ayahku memang seorang pebisnis besar di bidangnya. Tapi, aku masih enggan jika harus menentukan hidupku untuk bersaing bisnis di kelas dunia. Pikirku masih terlalu cepat, karena masih ada tujuanku yang belum tercapai. Yaitu, mendapat pengakuan darinya.
Awalnya mudah bagiku mendapatkan perhatian dan sanjungan dari semua orang termasuk Ayahku sendiri. Karena IQ-ku yang tinggi, meski tak setinggi para juara MIPA tingkat internasional. Namun saat itu sangat mudah sekali kuraih perhatian Ayah hingga beliau membanggakanku di hadapan para rekan bisnisnya.
Aku masih ingat. Saat aku sengaja dibawa oleh Ayah ke suatu jamuan bisnis dengan beberapa kolega dari negara mereka masing-masing. Disana Ayah dengan bangga mengenalkanku juga menyebutkan apa saja prestasi yang telah ku raih.
Aku memang mendapatkan semuanya dengan mudah, kecuali satu hal. Ingat kalimatku di paragraf yang pertama? Tujuanku belum tercapai untuk mendapatkan perhatian dari-'nya'. 'Nya' disini bukanlah Ayah, Ibu atau bahkan anak yang sebaya denganku, yang akan menjadi rivalku kelak. Tapi, 'nya' disini kutujukan pada seseorang yang sudah lama kukenal, namun ia tak kunjung melihatku dengan kedua matanya juga....
Hatinya.
Aku bukan membicarakan teman baikku, Adit Revallno Harris. Um...tapi, orang ini juga salah satu teman baikku sejak kami belajar di Taman Kanak-kanan yang sama. Hanya saja dia berbeda. Ya, dia seorang gadis. Gadis feminin namun tegas yang selalu saja memiliki pemikiran lurus. Gadis yang selalu menyemangatiku jika aku kesulitan. Gadis yang terus berada di sampingku hingga kami beranjak dewasa. Hahaha...bukan. Tapi, aku yang terus mengikutinya. Kemana dia pergi, aku selalu saja berada di belakangnya. Mungkin dia tidak nyaman dengan keberadaanku dan mungkin dia tidak sampai hati mau mengusirku karena Ibuku sangat mengenalnya.
Cerita dimulai ketika aku sudah mulai gigih ingin mendapatkan prestasiku yang lain juga mendapatkan hati dari gadis yang aku sukai. Aku tidak berani mengungkapkan perasaanku, karena sepertinya bukan hanya aku saja yang menyukainya. Kulihat putra Bapak Harris itu pun tertarik pada gadis yang aku sukai. Dan aku bukanlah type teman yang akan mengatakan bahwa gadis yang kusukai adalah milikku seorang, meski pun sebenarnya hal itu yang sangat aku ingin lakukan saat ini.
"Dave!"
Sebuah suara nyaring memanggilku. Aku sangat mengenal suara ini. Karena sudah belasan tahun lamanya aku hidup bersama suara yang paling aku sukai selain suara milik Ibu.
Aku menoleh cepat dan melepas satu headset dari telingaku. Kupasang senyum terbaik dariku untuknya yang masih berlari kecil mendekat. Nafasnya agak tersengal ketika dia tiba persis di depanku yang berdiri dengan dua tangan berada dalam saku.
"Apa? Kenapa berlari seperti itu?" aku bertanya selembut mungkin. Menutupi rasa gugup yang selalu timbul jika berhadapan dengannya.
"Ikut aku!" ajaknya tanpa basa-basi lagi dan menarik pergelangan tanganku ke suatu tempat.
Ia terus menarikku hingga ke gedung olah raga. Disana begitu ramai murid sekolah kami dengan sorak-sorai gembira. Riuh yang ditimbulkan akibat sebuah pertandingan bola basket yang sedang berlangsung. Awalnya aku sama sekali tidak tertarik dengan pertandingan tersebut sebelum aku melihat ada Adit yang bertanding di tengah lapangan.
"Kenapa dia disana?" tanyaku pada Shafira, gadis yang menarikku hingga sampai ke sini. Gadis yang aku sukai. Suaraku agak keras, khawatir ia tak mendengar karena riuhnya suasana gedung olahraga.
YOU ARE READING
MY STORY
Ficção AdolescenteTulisan ini menceritakan tentang kisah empat sahabat tentang isi hati mereka dan luka yang mereka dapat. Cerita tentang bagaimana mereka proses menuju dewasa. Adit Revallno Harris, Devian Alfaro Miller, Sakura Kanazawa, Shafira Syagran. Ketika satu...