Harapan dua

198 26 22
                                    

Hari kedua, 24 November 2018

Sedikit lagi, Bu. Aku akan membuat ibu hidup dalam penglihatan mereka.

Aku tersenyum sendiri dengan hasil yang kubuat sudah mendekati 70% jadi.

Senyuman yang terbit di sudut bibirku sangat manis sekali, bukan? Andai saja keluargaku memperhatikan sekilas saja, pastilah mereka akan tahu, bahwa senyuman ini akan sama seperti senyuman Ibu.

Changmin datang ke kamarku tanpa permisi atau mengucap salam lebih dulu. Kebiasaan anak itu. Tanpa aba-aba dia menepuk bahuku dari belakang yang masih asyik menggoreskan tinta beraneka warna.

"Bagus sekali, Kyu. Itu gambar bibi Hanna?"

"Huh." Aku terkaget. "Tentu saja ini potret Ibu. Dia sangat cantik bukan?" kataku menyombongkan diri karena lukisan ibu yang memang terlihat cantik. Ah. Ibu kan memang cantik. Jadi, kenyataan, 'kan? Bukan hanya omong kosongku.

Changmin mengangguk membenarkanku. Dia melangkah pelan ke area balkon kamarku yang jika di pandang ke arah luar terlihat laut lepas yang luas. Menarik napas. Meletakkan kedua telapak tangannya pada teralis besi sembari menghirup udara segar di pagi hari.

"Aku dengar ada kakek dan Hyung-mu datang ya? Aku ingin melihat mereka."
Changmin berbalik. Anak itu bertanya padaku sambil memakan cemilan coklat yang dia ambil di saku celananya.

Dasar Changmin. Banyak makan tapi tetap saja tumbuh ke atas. Tidak ke samping.

"Jangan! Kau tau sendiri kan, tidak ada yang menganggap kehadiranku. Mereka kesini hanya untuk berlibur dan merayakan kelulusan Donghae Hyung, lagipula hanya akan menginap dalam beberapa hari saja di sini."

Changmin terdiam. Tersenyum miring dan mendesah. Matanya terlihat memicing. "Apa kau tidak ingin bahagia? Inilah kesempatanmu untuk berbicara pada mereka dan mendekati mereka."

Aku hanya bisa menggeleng. Mengatakan pada Changmin tentang keluargaku. "Sangat susah mendekati mereka, Chwang. Acap kali mereka mengabaikanku walau maksud hati hanya sekedar tuk menyapa. Biarlah seperti ini, aku tak apa. Ketika mereka kembali ke sini, aku sudah berjanji untuk tidak mengatakan kebenaran apapun. Aku tahu, di antara rasa benci ada terbesit sebuah kerinduan yang ditujukan untukku. Untuk itulah mereka datang."

"Mereka datang karena ingin berlibur, dan bukan karenamu."

Aku merasa tertohok, namun aku hanya bisa menggeleng lagi. "Bukan begitu Chwang." Masih sama akan pendapat yang aku anggap suatu kebenaran yang nyata. "Jika masih banyak tempat lain, mengapa dia memilih ke tempatku ini? Itu berarti dia merindukanku," kataku. "Walau hanya terbesit sedikit rindu."

Changmin ingin tertawa, tertawa miris. Naif sekali.

"Kyuhyun, bicaralah pada mereka. Katakan apa yang ingin kau katakan. Ungkapkan apa yang tidak diketahui oleh mereka, bahwa kau sangat menyayangi mereka selagi mereka masih ada di sini." Changmin mengiba. Memohon agar aku mau bicara dan mengatakan tentang sebuah kebenaran.

Aku tersenyum sambil berkata, "Bahkan untuk memulai bicara pada mereka akupun tak mampu. Aku ketakutan. Aku gelisah. Bagaimana aku bisa sanggup menjelaskan pada mereka? Jika aku bicara sedikit saja mereka tak mendengarku dan pergi berlalu begitu saja. Aku seolah manusia namun tak kasat mata bagi mereka. Mereka tak pernah ingin melihat ataupun mendengarku bicara. Walau hanya satu ucap kata yang ingin kukatakan. Saat kau jadi aku, apa kau sanggup untuk bertahan?"

"Setidaknya ya ... seidaknya—"

Palet yang aku pegang terjatuh begitu saja dalam genggaman tanganku. Setelah beberapa saat mencoba untuk dipertahankan. Aku seolah hilang kendali bersama tanganku yang dingin nan bergetar.

Flowering AlmondWhere stories live. Discover now