Bunyi lonceng pertanda akhir dari aktivitas belajar siswa menyeruak memenuhi penjuru sekolah. Mereka mulai berteriak heboh, tubuh kelimpungan memunguti peralatan tempur yang masih asyik bercecer di meja.
Satu persatu mulai berhambur keluar kelas, memicu kepadatan pada area lapangan parkir. Sebagian dari mereka berlari menuju kantin pojok sekolah guna menuntaskan lapar di perut."Luna, aku duluan ya."
Aluna, gadis yang dipanggil hanya mengangguk sembari mengukir senyum manis. Ia masih setia terduduk pada bangku sekolah, tangan mungilnya belum tuntas menuliskan rentetan huruf yang berjejer manis di papan tulis. Setelah dua bulan tidak bersekolah, ia harus ekstra sabar menyalin pelajaran. Aluna tidak ingin jika nilai tinggi yang dibanggakan orang tuanya harus lenyap.
Dua bulan bukan waktu sebentar. Sehari-hari Aluna harus berbaring menemani ranjang rumah sakit. Menunggui tetesan infus mengalir pada tubuhnya. Terkadang seminggu sekali dirinya berjalan mengelilingi taman. Sungguh membosankan untuk anak usia SMP seperti Aluna. Ditambah penyakit kronis yang diderita, ia hanya mampu duduk diam mendengarkan petuah bundanya.
Aluna bersenandung kecil menyanyikan lagu cinta yang sering didengar melalui siaran televisi. Jemari tangannya mulai tidak fokus berbagi otak dengan senandung dari bibir. Penghapus bolpoin kerap kali melayang menyamarkan tulisan Aluna. "Ih salah terus!" Keningnya mengerut memandangi karya tangan yang terkesan amburadul. "Huh!" gerutunya. Embusan napas lelah mulai dirasa oleh tubuhnya. Ia harus segera menyelesaikan tugas ini atau terancam keluar kelas akibat catatan yang ia buat tidak komplit.
"Biar aku bantu."
Aluna mendongak. Tubuhnya berjingkat kaget mendapati seorang lelaki tengah duduk di hadapannya. Senyum manis terukir ramah ditujukan pada Aluna. Tanpa sengaja, mata Aluna bertubrukan dengan aura dari mata lelaki ini. Dengan segera dialihkan pandangan pada buku di hadapannya, ia tidak biasa bertatapan dengan lawan jenis.
Tunggu! Ada apa ini, kenapa jantungku, gumamnya dalam hati. Aluna setia menunduk, ia takut jantungnya semakin berontak. Apa penyakitku kambuh, tambahnya.
"Hei, kenapa diam?"
Tarikan nafas terdengar berat, masuk melalu celah hidung lalu keluar serentak melalui mulut. Bibir Aluna masih terasa berat, sekedar menjawab pertanyaan dari lelaki ini.
Semakin lama tubuhnya bergetar. Ia takut jika penyakit yang diderita kambuh di lingkungan sekolah. Apalagi di sini hanya ada dirinya dengan lelaki yang tidak dikenali."Kamu nangis?"
Aluna menggeleng sebagai isyarat jika dirinya tidak menjatuhkan air matanya.
Lelaki di hadapan Aluna kembali menyunggingkan senyum ramah. Tangannya terulur hendak menjabat jemari Aluna. "Kenalin, aku Andi." Sesekali mata Andi mengintip wajah Aluna yang masih tersembunyi.
Sedari pagi Andi penasaran dengan gadis cantik ini, senyum malu-malu selalu terbit. Sungguh menggoda, batinnya.
"Aluna," jawabnya pelan tanpa membalas uluran tangan Andi.
"Selama ini ke mana aja, Lun?" Andi semakin penasaran dengan tingkah Aluna yang terkesan pemalu ini. Padahal setiap cewek yang di dekatinya selalu melakukan aksi histeris kelewat bahagia. Sedang Aluna hanya diam tertunduk malu menatapi ujung sepatunya.
Otak Aluna terdiam mencerna maksud lelaki bernama Andi ini. Kepo banget deh! gerutunya. Ia masih saja mengatur degupan jantung yang tidak bersahabat. Alun bertanya, "Hm ... maksudnya gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita tak Sampai
Teen FictionGejolak meletup melingkupi hati Alana. Gadis cantik yang baru menginjak ABG harus diterbangkan oleh pesona lelaki labil di sekolah biru putih yang baru ia hinggapi. Bagaimana sebuah perhatian kecil mulai meletup memberikan akses nyaman pada gadis in...