Semilir angin dari kipas yang bertengger manis pada tembok kelas sungguh memabukkan. Ditambah dengan pelajaran sejarah di jam terakhir membuat mata siswa khilaf. Satu persatu dari mereka mulai terpejam menjemput pesona alam mimpi. Buku paket tebal sebagai tameng, mengahalangi wajah dari amukan sang guru.
Namun sepandai-pandainya murid menyangkal, akhrinya terjengkang juga. Bu Beti memergoki mereka tengah terlelap.
"Aduh!" pekik Fudin.
Teriakan dari bangku pojok membangunkan aktivitas tertidur Andi. Ia bangkit menemui Fudin dengan perasaan kesal. "Din, lo ga liat gua lagi tidur!"
Fudin gelagapan menerima bentakan dari Andi, bukanya ia takut. Namun di belakang Andi tengah berdiri sesosok guru yang sedari tadi mereka abaikan.
Dari wajah bu Beti terlihat merah padam menahan kekesalan pada muridnya terutama Andi. Mata Fudin bergerak gelisah memberi isyarat agar Andi menengok ke belakang.
Namun Andi terlihat bingung melihat mata Fudin yang melotot. Ia berusaha berpikir keras menemukan teka-teki dari gerak mata temannya.
Terkadang mat Fudin bergerak tak nyaman seakan ingin meloncat dari tempat asalnya. "Din, mata lo kanapa," tanya Andi. Ia bergerak maju memegang janggut Fudin, ditatapnya mata itu dalam. "Ga ada gajah mendarat, lo kenape?" Otaknya memutar mencari-cari fakta dibalik mata Fudin.
Seisi kelas tertawa melihat kelakuan Andi. Meskipun terkenal playboy, namun ia selalu menggemaskan dengan tingkah lucu yang di miliki. Ditambah ekspresi polos yang ditampilkan sungguh membuat para kaum hawa kehabisan napas.
Berkali-kali Andi membuka mulut lalu menutupnya kembali seakan ingin mengetes reaksi mata Fudin. Ia mengulanginya beberapa kali hingga sebuah tangan menjewer kasar telinganya. "Adudududuh sakit woe," teriaknya. Tangan Andi bergerak memegang tangan yang sedang memberi aksi jewer pada telinganya. "Berani lo sama gua!" ancam Andi.
Bu Beti menggeram mendengar gertakan muridnya. "Oh jadi kamu berani sama saya!" Ia menarik paksa telinga Andi hingga depan meja guru. Seluruh kelas menatap takjub adegan antara siswa dengan gurunya ini.
"Eh Ibuk," cengirnya.
"Ibak Ibuk! Kamu kira saya sudi brojolin kamu!" sarkasmenya. Bu Beti memandang jijik ke arah Andi.
"Hahahaha ...." Gelak tawa pecah. Mereka menertawakan nasib Andi yang tak diinginkan. Sebagian dari mereka tertawa lepas sembari memegang perut yang mulai keram. Ada juga yang berteriak heboh dengan tangan-tangan sibuk memukul bangku.
Lain lagi dengan Aluna. Ia hanya melirik keberadaan Andi sekilas. Setelah dirasa cukup segera memalngkan muka, tidak berniat memperhatikan ulah anak nakal itu. Baginya menertawakan orang lain adalah bentuk bully, apalagi dengan posisi Andi sedang ditawan oleh gurunya.
Tangan Aluna asyik menari, mencoret soal demi soal sesuai tugas yang diberikan bu Beti. Kewajibannya sekolah lebih menggebu ketimbang mengurusi hal yang tidak ada nilai keuntungan baginya.
"Luna tolong aku!"
Seisi kelas yang semula penuh tawa mendadak sunyi, tatapan mata mereka menajam memandang Andi dengan seksama. Lalu berakhir menatap kegiatan Aluna mencoret buku.
Merasa ada yang aneh, Aluna segera mendongak. Tatapannya bertemu dengan mata bening milik Andi. Dengan segera ia alihkan kembali ke arah temannya dengan tatapan bingung. "Kenapa?" tanya Aluna polos.
"Luna tolong aku!" Suara itu kembali terdengar. Awalnya Aluna hanya mengabaikan, pikirnya hanya ulah temannya yang usil. Namun tatkala mendengar untuk kedua kali, ditambah suasana kelas yang mendadak hening. Telingannya dapat mengenali siapa pemilik suara ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita tak Sampai
Novela JuvenilGejolak meletup melingkupi hati Alana. Gadis cantik yang baru menginjak ABG harus diterbangkan oleh pesona lelaki labil di sekolah biru putih yang baru ia hinggapi. Bagaimana sebuah perhatian kecil mulai meletup memberikan akses nyaman pada gadis in...