Kakiku bergerak menginjak ubin dingin di rumah ini. Rumah yang memang tidak seberapa besar. Tapi layak ditinggali lah.
"Nah, kamarmu ada di atas. Kalau ada apa-apa, panggil Tante ya..." Wanita yang mengantarku sedari tadi adalah tanteku, Tante Wina biasa aku memanggilnya.
"Oh, iya Tante." Ucapku sambil membungkuk sedikit. Setelah itu naik ke atas. Dan di atas cuma ada dua kamar. Jika kamar sebelah kiri sudah ada banyak tempelan stiker di pintu, itu berarti kamar sepupuku. Berarti yang kanan milikku.
Aku bergerak memasuki kamarku sendiri. Setelah itu menaruh tasku dan membaringkan tubuh di atas kasur. Menutup mata sebentar.
"Sitaaaa!!!"
Teriakan sepupuku berhasil membuatku membuka mata selebar mungkin. Sepupuku itu langsung menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Ukuran tubuhnya yang bisa dibilang raksasa itu membuat sebelah kasurku sedikit miring.
Jika kalian ingin tahu sepupuku, namanya Sakti. Seumuran denganku, bahkan kudengar di sekolah ini dia sekelas denganku. Sakti kecil memiliki sifat yang bisa dibilang sangat nakal. Mulai dari yang umum seperti mencuri mangga tetangga sampai yang ekstrim mencuci rambut tetangganya yang sedang tidur dengan kopi.
"Ta, lo kenapa sih baru datang sekarang? Kenapa gak dari dulu? Gue tuh kesepian tahu, sangaaat kesepiaaan..." Sakti mendadak curhat panjang. Aku hanya menimpali seperlunya.
Brak!
Prang!
Suara ribut di bawah berhasil menghentikan ocehan Sakti yang tiada hentinya. Pemuda itu tiba-tiba terdiam.
"Oh shit..." Desisnya. "Bentar Ta, gue turun dulu."
"Eh, ada apa Sa? gue ikut dong..." Ucapku beranjak berdiri, mengikuti Sakti.
"No... just stay here. I'll be back on five minute..." Balasnya, kemudian turun ke bawah.
Okay, aku dengan sabar menunggu di atas sambil menyiapkan buku-buku. Tapi dalam lima menit pemuda itu tidak kembali. Aku yang sudah selesai dengan buku-buku beralih dengan pakaian-pakaian. Tapi sampai sepuluh menit aku selesai, pemuda itu masih tidak kembali. Kulirik jam yang ada di tembok. Sudah dua-puluh menit berlalu. Apa yang terjadi?
Aku memutuskan untuk melihat ke bawah. Menuruni tangga berukuran minimalis dan akhirnya sampai di sumber suara. Dan dihadapanku, aku disajikan sebuah pemandangan yang...
Sepasang suami-istri, yang tak lain Om dan Tante, mereka terlibat pertengkaran hebat. Itu yang bisa kusimpulkan. Mereka saling melempari kata kasar. Tak jarang barang-barang melayang bebas. Dilihat dari jumlah pecahan kaca, aku tahu itu pertengkaran yang hebat. Kedua manusia itu masih berteriak-teriak dan berdebat. Entah apa yang mereka perdebatkan.
Di pojok sana, di taman, aku melihat punggung pemuda yang sedang membungkuk. Aku tahu, itu Sakti. Dia kelihatan sangat rapuh. Bukan Sakti yang biasa kulihat. Bukan Sakti yang banyak bicara. Bukan Sakti si anak nakal.
Aku bergegas menghampiri Sakti, kemudian menepuk pundaknya pelan. Pemuda itu menoleh. Wajahnya jauh berbeda dengan yang pertama kutemui. Beberapa menit lalu pemuda itu masih terlihat senang. Sekarang? Jelas pemuda itu benar-benar terlihat stress.
"Sakti, are you okay? You look so pill..."
"No, I'm okay. Ini sudah biasa terjadi. Jangan terkejut. Tiap-tiap hari Mama dan Papa akan berdebat, bertengkar. Melempar kata-kata kasar. Ini akan menjadi pemandangan biasa. Jangan kaget..."
"No, you're not okay. Sa, kenapa lo baru ngomong sekarang? Kita sering ketemu, kita sering ngobrol di chatting. Lo selalu curhat apa pun, tapi hal kayak gini... Kenapa lo gak ngomong?" Tanyaku sepelan mungkin. Sakti menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broke
Short StoryHari itu aku tahu semuanya. Rumah yang kukira hangat, ternyata jauh lebih dingin dari kutub utara. Pertengkaran ada dimana-mana. Baik pertengkaran fisik atau pertengkaran batin. Menyisakan seorang pemuda di pojok sana. Berlutut ketakutan. Sendirian...