Bab 7

3.5K 77 2
                                    

Sundari tergugu di bangku Rumah Sakit. Kembali dia harus duduk di sini dan merasakan sakit yang sama. Kembali dia merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mampu menjaga suaminya dengan baik, hingga harus berada di tempat ini lagi.

"Bapak Junab!" Suster cantik memanggil nyaring nama suaminya. Dia bergegas berdiri dan setengah berlari mendekat. Dengan tergesa dia ikuti suster tersebut berjalan menuju meja dokter di ruangan tersebut.

"Mohon maaf bu, sepertinya kondisi Bapak Junab sangat labil. Lukanya juga belum mengering, apakah bersedia kami rawat inap lagi? Kami akan observasi lebih lanjut tentang kondisi Bapak." Dokter menjelaskan kondisi Junab saat ini

"Parahkah Dok?" Tanya Sundari.

"Sepertinya lumayan parah Ibu, tapi kami akan usahakan yang terbaik." Sundari mengangguk, rasa hati seperti tertohok sebilah bambu, perih. Harusnya dia lebih memperhatikan kondisi suaminya dan tidak sibuk dengan jualannya.

Setelah berbincang dengan dokter, dia mendekat ke tempat tidur Junab. Dielusnya rambut Junab yang mulai memanjang. Setitik air mata lolos dari sudut matanya. Namun segera diusapnya.

"Mas," bisik Sundari lirih di telinga Junab. Namun tak ada pergerakan. Entah karena Junab tertidur atau pura-pura tidak mendengarnya.

"Sabar ya Mas, ini ujian Allah untuk kita. Mas harus berjuang, aku akan berjuang, aku yakin kita bisa. Aku cinta kamu Mas." Sundari berbicara kembali tanpa peduli Junab menanggapi atau tidak. Sundari mengelus rambut dan wajah suami tercintanya.

Hingga beberapa saat, Sundari seakan merasakan rindu yang mendalam. Rindu pada gelak tawanya, candanya, genitnya. Kehadiran Junab di hidupnya adalah anugerah terundah dari Allah.

Sudah lebih dari seminggu Junab dirawat di Rumah Sakit, tapi keadaannya semakin memburuk. Sundari sudah pasrah, hanya doa-doa yang selalu dipanjatkan dalam setiap sujudnya. Tak pernah sekalipun ujung malamnya dia habiskan tanpa mengangkat tangan dan harapan pada Sang Pemilik Hidup. Hanya satu, agar dia diberi kesempatan lagi merasakan kebahagiaan yang dulu bersama keluarga kecilnya.

"Aah...aaahh..." Terdengar rintihan dari bibir Junab saat Sundari tengah terlelap di atas sajadahnya, di samping tempat tidur Junab. Sundari mengerjapkan mata sejenak.

"Aaaahhh...!" Sundari terperanjat dan bergegas mendekat.

"Mas. Mas. Kenapa Mas? Apa ada yang sakit?" Sundari menyentuh tubuh suaminya.

"Aahh!" Junab berteriak kesakitan, wajahnya pucat dan berkeringat, Sundari reflek menarik tangannya. Dia pun segera memenvet tombol panggilan di atas tempat tidur Junab.

Tak lama, suster datang dan memeriksa Junab. Wajahnya terlihat panik. Namun tiba-tiba beberapa suster datang dan segera membawa Junab pergi. Sundari terpaku di tempatnya berdiri.

"Ada apa mbak? Ada apa suster? Kenapa suami saya?" Derai tangisnya tak dihiraukan suster-suster cantik itu.

"Dibawa kemana suami saya? Kenapa dia?" Sundari berteriak sambil berlari mengikuti arah pergi suaminya.

"Tenang Bu, kami akan berusaha yang terbaik." Seorang suster menahan langkahnya. Dia pun kembali luruh dan menangis sendiri di lorong Rumah Sakit itu.

Satu jam. Dua jam. Detik demi detik dipandangnya. Perpindahan jarum jam itu bahkan bisa dia hitung berapa banyaknya. Kini pandangannya beralih ke sebuah pintu yang sedari tadi belum ada yang keluar dari sana. Ruang Operasi.

"Brak!" Akhirnya pintu itu terbuka. Sundari terlonjak. Ternyata dia tertidur saat menunggu.

"Dokter bagaimana suami saya?" Dokter memamdang sayu.

"Maaf Bu, kami sudah berusaha."

JEDARRRR!!!

Bagai petir menyambar di siang hari. Sundari pun pingsan di tempat dia berdiri.

*****

Rumah kecil itu mendadak ramai. Kursi-kursi berjejer di sepanjang jalan dan depan rumah. Orang-orang sibuk keluar masuk menyampaikan bela sungkawa.

Ya, Sundari hanya mampu terisak pelan. Dia telah kehilangan separuh jiwanya. Junab telah berpulang, menjemput kematian. Rima yang masih kecil hanya memandang orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Sedari tadi dia tidak mau lepas dari pelukan ibunya.

"Apak na?" Tanya Rima, Bapak kemana? Sundari hanya tersenyum lalu mendekap lagi Rima.

"Ndari. Sabar ya." Lek Nanik duduk di sebelahnya. Mengelus punggung perempuan mungil yang kini telah menjadi janda kembali.
Sundari hanya mengangguk.

Proses memandikan, mengkafan dan salat jenazah dilakukan oleh kerabat mereka yang datang dari luar kota. Mereka memohon ijin untuk memakamkan Junab di pemakaman sekitar saja. Sundari tidak lagi berniat untuk kembali ke desanya. Dia akan berjuang sendiri demi Rima.

Tiga minggu. Cukup bagi Sundari untuk bersedih. Dia harus bangkit demi putrinya. Dia mulai lagi membuka warungnya yang hampir sebulan tidak di bukanya. Semoga langganannya masih setia. Itu harapannya.

Alhamdulillah. Allah beri kemudahan. Bahkan di hari pertama dia buka warung, rujaknya habis dalam waktu 2 jam saja. Lelah yang dirasakan terbayar sudah. Sekarang tinggal memasukkan sinom yang sudah dimasaknya tadi pagi ke dalam botol-botol.

"Mbak... Mbak Ndari..." Seseorang memanggil namanya dari depan. Tergopoh dia keluar dapur.

"Oalah, Yeni. Ada apa Yen?"

"Rujaknya masih mbak?"

"Habis Yen. Ada lontong mie, mau?" Tawar Sundari.

"Oh, sebentar aku tanyakan dulu ya?"
Yeni pun berlalu. Sundari kembali masuk ke dapur.

JEDARR!!

"Allahu akbar!!" Sundari terlonjak kaget. Seketika pegangannya terlepas dari botol kaca yang sedang diisinya dengan sinom.

"Astaghfirullah." Dia memungut pecahan botol yang terserak di bawahnya.

"Huwaaa...huwaa..." Rima pun menangis kencang. Mungkin dia juga terkejut dengan suara petir itu.

Sundari meraih Rima dan menenangkannya. Di gendongnya bayi gembil itu keluar rumah. Mendung sudah terlihat pekat.

"Ya Allah. Mendungnya gelap nduk. Kita masuk aja ya. Mungkin sebentar lagi mau hujan." Dia kembali masuk ke dalam. Menutup warung lalu beranjak ke kamar untuk merebahkan badan bersama Rima. Hanya Rima yang menemaninya di saat sedih seperti ini.

Ingatannya kembali berputar ke beberapa minggu yang lalu. Saat Junab baru selesai dimakamkan.

"Nduk, kamu pulang saja ke desa. Ngapain di sini? Toh Junab sudah tidak ada lagi." Simbok duduk di sisi dipan.

"Tidak Mbok. Aku mau tetap di sini. Kenanganku sama mas Junab ada di sini." tolaknya halus.

"Tapi nanti kamu gimana? Sendiri begini? Simbok nggak tega Nduk." Bujuk simbok lagi.

"Bismillah nggak papa Mbok. Aku sudah punya warung di sini. Aku mau belajar mandiri. Tidak bergantung pada Bapak dan Simbok terus. Minta restu dan ridhonya ya Mbok." katanya sambil mendekat dan memeluk simbok dari samping. Anak beranak itu sesenggukan bersama.

Sesungguhnya, hidup dan mati ada di tangan Allah. Bukan karena usia dan bukan kesehatan.

QS. An-Nisā':78 - "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,"

Tangis Sundari pecah seiring deras hujan yang turun siang itu.

"Mas Junab," rintihnya pelan...

~next~

Botol Kaca SundariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang