Jomblo Until Akad

159 9 2
                                    

Botol air mineral berserakan. Sampah-sampah organik terhampar di setiap jerembah kamar.

"Alhamdulillah. Sandalku ilang." Lirih seorang pemuda. Matanya menatap sendu pada sebuah sandal tanpa pasang. Liburan imtihan, memang selalu memberikan kesan yang berbeda setiap tahunnya.

Ia pun memilih duduk sebentar untuk menyaksikan ratusan santri yang satu persatu keluar melewati gerbang. Melihat ekpresi mereka yang bahagia itu, hatinya ikut bahagia.

"Sir!! bukumu yang La Tahzan for Love aku bawa pulang Sir. Adikku juga mau baca!" Teriak seorang santri di depan gerbang. Itu Ilyas.

"Bawa saja Yas, asal jangan dijual!!"

"Mantap!!"

Ada-ada saja si Ilyas. Mau pinjam buku saja masih teriak-teriak. Mana judul bukunya La Tahzan for Love lagi. Bukan sebuah buku yang bisa dibanggakan di depan umum.

Pikirannya kini melayang tak karuan. 6 tahun sudah ia merasakan manis pahitnya menjadi santri. Bertahan selama itu tentu bukan perjuangan yang mudah. Satu persatu sahabat terdekatnya sudah lebih dulu berhenti berjuang. Dan ketika ia sadar bahwa tak ada seorangpun yang bisa terus-menerus berada di sampingnya, maka ia harus terbiasa pula dengan kesendirian .

Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Hal itulah yang selalu ia kaitkan dengan realita kehidupan. Dan memang itu benar. Kadang kemudahan itu berupa hadirnya seseorang, atau kadang berupa jiwa yang lapang, dengan hati yang menerima. Indah bukan?

Ilyas adalah salah satu kemudahan yang Allah berikan. Seseorang yang Allah hadirkan untuk bisa menjadi teman terbaik Yasir untuk bersama-sama berjalan menuju kebaikan. Dia memang bukanlah orang yang shalih, akan tetapi kemauan kerasnya untuk menjadi pria shalih adalah aset berharga yang ia miliki.

Kemilau mentari pagi masuk melewati kaca jendela kamarnya. Selalu menarik hati Yasir untuk kemudian keluar menikmati udara segarnya. Hari ini nampak berbeda. Pasti!. Karena hari ini adalah hari pertama berpuasa. Ramadhan tiba!

Baginya, pagi hari adalah waktu yang tak boleh dilewatkan. Apalagi di bulan yang spesial. Melihat atraksi sekawanan burung yang melompat kegirangan dari satu dahan ke dahan yang lain. Atau sekedar tegur sapa dengan kerabatnya yang lalu lalang.

Sehabis itu, tidak ada waktu keluar baginya melainkan ada keperluan. Ia teringat bulan puasa tahun kemarin. Ketika salah seorang tetangganya ia dapati sedang pacaran. Bulan puasa lagi. Di depan umum lagi. Menjengkelkan.

Kejengkelan bukan karena ia jomblo. Akan tetapi ketika orang lain malah balik menanyainya. "Yasir, kapan bisa begituan?."

"Arrgh. Apaan coba." Ia merasa seperti dihadapkan dua persoalan. Satu, dia hidup diantara kerabat yang akidah masih salah kaprah. Yang mana juga menjadi alasan mengapa ia masih bertahan menjadi santri.

Dan dua, adalah sebuah tekanan yang memang biasa ditekankan pada kaum jomblo di seluruh dunia. "Kapan nikah?" Pekak telinga ini mendengarnya. Dulu pernah ia tuntas menjawabnya. Toh percuma. Pertanyaan serupa tetap saja diajukan. Dari orang yang serupa pula.

Ia tahu bahwa sebenarnya mereka sayang. Hanya cara menyampaikannya saja yang menyayat. Yasir sadar, bahwa nikah bukan masalah siapa yang paling cepat. Akan tetapi adalah siapa yang paling siap. Maka ucapan mereka hanya masuk telinga kanan, kemudian keluar telinga kiri. Senyumin aja!

Matahari kini bergerak jauh ke barat. Kilauan pagi telah berubah menjadi kilauan senja. Yasir melototi hp-nya. Sebuah pesan masuk membuatnya berpikir agak lama.

"Sir, aku lagi galau." Pesan itu dari Ilyas. Ia tak mau membukanya. Ia biarkan pesan itu mengambang di panel notifikasinya.

Ia tahu bahwa Ilyas baru hijrah, dan tentu membutuhkan sebuah dorongan untuk tetap istiqomah. Akan tetapi disisi lain ia tak mau hati Ilyas rapuh. Yang sedikit-sedikit sudah mengeluh.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jomblo Until AkadWhere stories live. Discover now