"Aduuh."
Subkhan tersandung saat berlarian kesana-kemari mencari nadzom Alfiyyah Ibnu Malik miliknya. Seingatnya, baru tadi pagi terakhir kalinya membelai sekumpulan bait berbahar rojaz itu. Tapi kenapa belum ketemu juga ya? Tadi kutaruh di mana sih? Tanyanya dalam hati. Hampir satu jam ia berbolak-balik dari masjid ke ghurfah, ke serambi, lalu ke aula, lantai atas, mihrab, kantor, kelas, madrasah, tetap saja hasilnya nihil. 1002 bait Alfiyyah Ibnu Malik. Bukan hanya sekedar susunan kata bahasa Arab yang berbait-bait, hampir seluruh ruhnya adalah bagian jiwa dari Subkhan. Betapa berartinya sebuah nadzom Alfiyyah bagi santri sepertinya.
"Subkhan..."
Terdengar suara dari kejauhan. "Khan, Subkhaan," suara itu terdengar lagi dan semakin mendekat. Siapa yang tidak mengenal suara khas tersebut? Bahkan seluruh santri di setiap waktunya selalu mendengar dawuhnya. Sebuah suara yang terdengar jelas ketika menerangkan kaidah-kaidah fiqh dari kitab Al Bajuri setiap Kamis sore, bentakan yang menggetarkan seluruh badan ketika ada santri yang salah melafalkan satu huruf bacaan Al Qur'an, petuahnya yang halus ketika menasehati santri-santrinya, itu semua tidak asing lagi bagi para Santri Darut Tholibin. Kyai Syukron, bapak kedua mereka setelah bapak kandungnya, memanggil-manggil Subkhan dengan nada penuh amarah. "Subkhaan..."
Ia terperanjat ketika mulai mengenali suara seseorang yang memanggilnya sedari tadi. Awalnya ia abaikan. Tapi, kali ini, setelah panggilan yang ketiga kalinya, mengabaikannya adalah sebuah dosa besar yang bisa menyebabkan ilmunya tidak manfaat dan tidak barokah. Dengan langkah gugup, Subkhan menemui Kyai Syukron di depan pintu masjid. Kepalanya menunduk tawadhu' takdzim, badannya bergemetar, hampir seluruh jiwanya luluh-lantah.
"Dari mana saja sampean, Kang?" Tanya Kyai Syukron sambil mengelus-elus jenggotnya. Yang ditanya hanya diam saja. "Sudah jam berapa? Kalau sudah manjing waktunya sholat ya lekas diadzani to!"
Subkhan menelan ludah. Ia baru ingat, hari ini adalah jadwal adzannya waktu Asar dan Maghrib. Masih dengan penuh rasa takdzim, ia berdiri mematung, melirik sedikit pada arlojinya, 16:20, seharusnya ia sudah adzan 40 menit sebelumnya. Tapi, sebenarnya jam dinding yang terhiasi ayat kursi dengan gaya khot tsuluts di dalam masjid itu masih pukul 15.50. Tanpa ia sadari ternyata arlojinya sudah tidak waras sejak kemarin sore.
"Dari mana sampean?" Kyai Syukron melemparkan pertanyaan setelah diam sejenak.
"Dari tadi ana di masjid, Bah," jawab Subkhan lirih.
"Kok ora ndang diadzani?" Tanya Kyai Syukron lagi.
"E... Anu... Mencari anu....." Jawab Subkhan gugup kebingungan.
"Ona-anu ona-anu! Ngomong ki sing cetho!" Bentak Kyai Syukron.
"Mencari nadzoman, Bah."
"Oh, yawis! Kali ini ana maklumi. Tapi inget! Jangan diulangi lagi!"
"Injeh."
"La ikhwanmu pada kemana?"
"Baru Qur'anan di dusun, belum pulang."
"Oh, yawis. Sana diadzani!"
Bahasa yang menggelitik dan menggelikan. Memang bahasa seperti itulah yang biasa digunakan setiap harinya. Mencampur-adukkan antara bahasa Jawa, Arab, dan bahasa Indonesia. Tidak harus diperintah dua kali, Subkhan langsung mengabil mikrofon, mengumandangkan adzan. Sesudah salat berjama'ah, genap dengan aurod-dzikirnya, Subkhan beranjak menuju serambi masjid. Ia masih mencoba mengingat-ingat terakhir kali menyentuh bait Alfiyyah tadi pagi. Seingatnya memang tadi pagi ia duduk bersila di serambi, menghafal beberapa bait Alfiyyah.
YOU ARE READING
Sorban Penggetar Asmara
Teen FictionSubkhan, pecinta nadzom Alfiyyah, menjalani hari-harinya di pesantren bersama Sulton, sahabatnya. Berbagai kisah suka maupun duka sudah banyak terlukis di antara keduanya. Salah satu peraturan di pesantren adalah dilarang berhubungan dengan lain mah...