KALA itu, salah satu sore di akhir bulan Desember, ketika sepasang saudara kembar berada di pasar malam dekat rumah mereka. Kakak dari kembarannya itu atau biasa orang-orang panggil Kallanie duduk di samping kolam air mancur sambil menunggu adiknya menjelajah kuliner, sedangkan Kallanie yang sibuk menerka-nerka masa depan apa yang akan menyambutnya nanti.
"Kak, kira-kira kalau nanti mesin sudah mengambil alih semua kehidupan kita, apa yang akan kita lakukan?" Kallasie- kembaran Kallanie yang selepas membeli beberapa makanan tiba-tiba berlari ke arahnya dan menanyakan hal itu. Pertanyaan yang tidak mudah dimengerti untuk usia mereka yang masih 13 tahun.
Kallanie termenung, berpikir, mencoba mencari jawaban yang mudah dimengerti. "Nggak tau. Di saat itu datang, mungkin kakak sudah terbaring lemah dan hanya bisa bergantung sama orang lain."
Kallasie terdiam sebentar. Mengatuk-ngatukkan telunjuknya di dagu, mencerna perkataan Kallanie. Cukup lama, akhirnya dia paham.
"Ohh gitu. Kalo gitu aku bakalan bergantung sama kakak terus deh."
"Nggak boleh. Kamu harus mandiri!" Kallanie sedikit membentaknya dan respons Kallasie hanya cemberut.
"Ngomong-omong kak, aku tadi ketemu sama anak cowok di deket bianglala itu. Ganteng bangettt! Dia sama teman-temannya, ceria gitu wajahnya. Itu yang kepalanya ditutupi tudung jaket tu!" Kallanie mengikuti arah telunjuk Kallasie.
Benar. Yang dikatakan Kallasie memang benar. Anak lelaki itu sedang bercanda gurau dengan sekelompok teman-temannya. Ia mengenakan jaket berwarna tosca dan kepalanya yang ia tutupi dengan tudung jaket. Ia paling mencolok di antara semuanya. Dan, yang paling tampan menurut Kallanie.
Tetapi, Kallanie seperti melihat suasana lain di sorot matanya yang teduh itu. Seperti terdapat sebuah kesedihan yang ia coba tutupi dengan gelak tawa yang ada. Mungkin bagi orang lain, mereka beranggapan anak lelaki sebayanya itu sangat bahagia.
"Ih kak, jangan dilihatin mulu! Nanti naksir," ucap Kallasie menepuk pundaknya keras dan bibirnya mengkerut kesal karena Kallanie cukup lama tidak memalingkan tatapannya dari cowok bertudung jaket tosca itu.
"Dih, siapa juga yang naksir. Ngaco kamu!"
"Ngomong-ngomong, kayaknya aku suka deh sama dia deh kak," terang Kallasie
"Belajar dulu yang pinter, baru cinta-cintaan!"
Kallasie yang mendengar bentakan kakaknya itupun hanya cemberut.
"Jangan marah-marah mulu dong Kak Anie! Bentar lagi kita ulang tahun loh, masa gitu. Btw, aku minta prize dari kakak sekarang boleh gak?" pinta Kallasie.
"Apa?!" jawab Kallanie ketus.
"Aku cuma mau kakak harus janji ga bolah suka sama anak itu tadi. Meskipun nanti Asie uda nggak ada, kakak tetap harus janji. Janji ya?" Permintaan yang Kallasie ucapkan cukup membuat Kallanie membelalakkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALLANIE
Teen FictionKamu dingin dan datar seperti kanvasku. Kamu indah seperti sebuah melodi yang melantun di setiap alat musik yang kumainkan. Dan kamu, seperti sebuah coretan indah yang bermakna yang kutulis dalam kalimat berdiri tegak bak benteng di papan catur. Ter...