Lipstick

62 1 0
                                    


Malam memberi banyak kehidupan. Khususnya untukku sebagai pekerja di bawah sinar rembulan. Berbekal gaun seadanya, dan suara lembut untuk menggoda Sang Tuan.

Sesekali aku bercermin, memperhatikan penampilan tak karuan, "lihat tubuhmu! Lihat wajahmu! Malam ini kamu cantik." Ucap hati terdalam sembari memoles lipstick.

***

Suasana jalanan di Ibu Kota nampak remang. Pinggir jalan, tempat dimana aku berpijak dan menjajakan tubuh yang tak lagi menarik. Kulihat teman-teman tengah berdandan ria. Polesan bedak tebal menghiasi wajah-wajah mereka, rok-rok pendek juga tak luput mereka mainkan dengan bulu kaki yang sedikit menyembul dari balik stocking.

Berias diri sebelum ada pelanggan sudah menjadi ritual yang tidak pernah ditinggalkan.

Setiap ada mobil yang berhenti di area kami segera dikerubungi. Biasanya di sana sudah ada setidaknya dua atau tiga pria, walau terkadang juga sendirian. Entah siapa yang akan mendapat kesialan malam ini, bagaimana tidak, jika kamu menjadi bahan objek pemuas oleh tiga orang sekaligus.

"Om, sama aku donk!" Ucap salah satu manja.

"Om sama aku aja!" Yang lainnya tak mau kalah menggoda.

Terkadang, pada sorot mata mereka seolah kami adalah manusia paling hina. Lebih hina daripada hewan sekali pun. Lebih haram dari jenis haram mana pun.

Namun, peduli Setan dengan tatapan mereka. Toh mereka juga pendosa.

Semakin larut, tempat ini semakin sepi. Hanya aku beserta dua teman lainnya yang belum mendapatkan nominal di dalam beha. Mungkin malam ini dewi keberuntungan belum mengunjungiku, tapi apakah dengan cara seperti ini bisa disebut keberuntungan?

Pertanyaan kadang menyerang jika di jam-jam seperti ini. Bagaimana bisa takdir menuntunku ke jalan ini? Bisakah aku marah kepada takdir? Berteriak lantang melawan nasib? Sedangkan di mata manusia lain aku hanyalah seonggok daging yang paling busuk diantara yang busuk.

Alunan do'a kadang kulafadzkan, walau aku tidak yakin kalau Tuhan mau mendengarkan. Tapi bagiku ini baik. Salah jika aku masih berharap pada sang pencipta?

Orang bilang, manusia masih mampu hidup jika mempunyai harapan. Mungkin hanya inilah kebaikan yang bisa aku lakukan.

Tak lama, sebuah mobil mewah berhenti di hadapan. Segera aku dan teman-teman lain menghampiri. Pria itu memilihku untuk melayaninya malam ini. Segera aku melangkah, membuka pintu mobil lantas memasukinya. Kulihat, sepertinya pria ini orang yang religius. Aku melihat lapadz Tuhan di depan, menggantung pada cermin mobil bersama pengharum. Seringnya aku merasa malu jika melihat lapadz tersebut, seolah Tuhan begitu dekat menyaksikan umatNya berbuat dosa. Walau aku sendiri tidak yakin kalau diri ini masih dianggap.

***

Kini aku terbaring di atas tempat tidur hotel yang ia pesan. Kutawarkan sebotol minuman yang disediakan pihak penginapan. Namun dirinya menolak untuk minum. Bagi dia itu minuman haram. Haram?

Lantas apa sebutan yang akan ia lakukan padaku malam ini?

Pria tersebut melepaskan pakaiannya, melepas kalung tasbih miliknya lantas menyimpannya di atas meja yang tak jauh dari kasur. Dengan segera ia mulai melucuti pakaianku.

Milik tuan mungkin sama dengan milikku. Tapi Tuan suka menekan milik diriku, bahkan sampai meremasnya. Tuan terkadang memaksa. Jujur, ingin rasanya aku akhiri. Tapi bagaimana bisa? Inilah jalan yang terpaksa kupilih. Inilah jalan yang mungkin akan menuntunku pada kesengsaraan diakhirnya.

Seperti biasa, tidak hanya kucuran keringat yang mengalir saat ia mulai menjamah, namun air mata penyesalan juga tak luput. Lipstick yang kupoles rapi sudah tak lagi terbentuk. Hancur, seperti hidup ini yang entah kapan indahnya. Tapi aku harus tetap kuat. Aku masih harus terlihat cantik.

***

Keesokan harinya, pagi nampak begitu cerah. Matahari menyorot kamar kami begitu indahnya. Namun bagiku, sambutan mentari bagai Tuhan yang mengutuk perbuatanku.

"Ini hari minggu, sebentar lagi aku akan mengisi ceramah di pengajian." Ucapnya sembari memberiku lembaran uang, kemudian ia mengenakan pakaiannya.

Entah pendengaranku bermasalah atau bagaimana. Namun yang pasti aku merasa aneh telah membawa orang suci pada sesuatu yang dibenci. Aku jadi teringat sebuah kalimat, jangan melihat siapa yang berbicara, tapi dengar apa yang ia bicarakan. Karena kebaikan kadang keluar dari makhluk laknat sekali pun. Tapi bukan berarti ini menjadi alasan untuk terus berbuat dosa.

***

Tak jarang, saat pulang dari melayani mereka, aku diteriaki bencong saat menuju kosan. Tak heran mereka demikian. Aku pribadi sengaja memilih tempat tinggal di tempat yang notabene religius. Di mana mereka mengutuk orang-orang yang berbuat dosa. Bukan apa-apa, aku berharap dengan begini setidaknya aku berada di lingkungan yang baik. Sulit memang, tetapi aku sendiri yang memilih jalan ini.

"Neng, goceng ya sama Abang?"

"Eh, Bencong! Dapet duit berapa hari ini?"

Aku mencoba tak mendengarkan. Sebisa mungkin aku mencoba memaknai. Apa saja bisa terjadi di ibu kota ini. Bagaimana pun hidup ini hanyalah sebuah cerita.

Terus diledek sepanjang jalan. Seolah hal tersebut adalah sambutan kepulanganku. Sesampainya di kamar kos, uang yang didapatkan tadi segera kumasukan dalam kaleng bekas susu.

Cantik ini hanyalah profesiku, buah dada ini hanyalah bra busa yang dijual di pasar, dan lipstick ini hanya gincu murahan.

Tapi sungguh cinta ini masih murni layaknya cinta suami pada sang istri. Kasih sayang ini masih terjaga layaknya Bapak pada buah hatinya.

Kulepas rambut palsu. Kunyalakan korek untuk menghisap rokok. Kini aku duduk tenang, membayangkan anak istriku tersenyum bahagia saat aku pulang kampong nanti. Tak terasa air mata menetes.

"Bapak akan cepat pulang."

TAMAT

Referensi:

*Kisah nyata dari seorang teman di Jakarta

*Sanubari Jakarta v

LipstickWhere stories live. Discover now