Antara gedung-gedung tinggi, Bising mesin dan terang lampu motor tua yang dipacu sekuat kuda tanpa kembang gula, seorang kusir dengan jaket hitam dan helm standar melintasi jalan berlubang sepulang dari membeli buku murah di pameran buku akhir tahun.
saat itu oranye senja hanya dinikmati langit atas saja, sinar matari tak mampu menembus gelapnya awan, hingga membuat dunia bawah terasa suram dengan nuansa abu di pergantian menuju malam. remaja itu tetap terfokus dalam berkendara, menunggang sepeda tua yang dia beri nama Badai karena sebuah stiker yang menempel di plat belakangnya. Lalu beberapa ratus meter setelah melintasi jembatan kota, teman lama menyapanya, dimulai dari salam hangat dari sebuah rintikan kecil diatas helmnya, tidak seperti biasanya sebab dia sadar tidak membawa kantung plastik hari ini dan dia juga khawatir karena buku yang dibelinya tidak tersampul plastik seperti buku baru biasanya.
sepanjang jalan ditemani dengan rintik kecil hujan ia mencari tempat berteduh, toko waralaba ia lewati, warung kopi dengan wifi juga ia lewati, setelah melihat rambu tanda masjid 50 meter lagi ia menghela nafas panjang, tapi seketika ia berubah pikiran saat ada halte sepi beberapa meter kedepan.
sesampainya di halte, ia parkirkan sepeda mepet dengan trotoar dengan posisi sedikit ke samping kanan tidak pas di muka halte. tas kain blancu yang setengah basah ia taruh secepatnya di kursi halte, seketika ia cek satu persatu dari 5 buku barunya, mencari tetesan air yang ternyata tidak ada, kemudian dimasukan lagi buku itu, dia duduk bersandar di kursi halte memandangi jalanan yang mulai basah kuyub akibat ulah si awan hitam.
ia mengumpat dalam hati, sebab di saat seperti ini ia baru sadar baterai telpon genggamnya dalam keadaan kritis, bahkan tidak kuat untuk memutar dua judul lagu dari band favoritnya, jadi dengan terpaksa ia mulai membaca buku yang baru saja ia beli, salah satu buku bersampul merah ia ambil dari tas disamping kanannya, "Untuk Russel, Caleb, dan Joseph" ia baca halaman pertama buku itu.
sudah lewat satu jam ia larut dalam buku itu, dan sang hujan sudah kekurangan air untuk diberikan pada bumi, sinar senja tak pernah datang hari ini dan sekarang sudah tersisih oleh bulan yang siap mengayomi. Dia masih masih larut dalam buku itu, sebelum akhirnya bus antar kota datang menurunkan seorang penumpang, air cipratan dari roda bus itu seketika membasahi sepatu si remaja, dan secepat bis itu pergi dalam hati ia mengumpat kesal.
ia tak sadar ada penumpang yang turun dari bis, ia tetap melanjutkan bukunya, perempuan ex-penumpang bus turun dengan membawa ransel agak besar berwarna merah, dilihat dari penampilan dan barang bawaannya seperti pelajar dari luar kota yang memilih bertempat tinggal di sekitar sekolahnya, perempuan itu lekas duduk dan menaruh ransel di kursi halte hingga mengganggu keseriusan remaja yang sedang membaca, kaget akan hal itu ia hanya memalingkan muka menatap perempuan itu dan kemudian kembali tertuju pada buku dan memindah pembatas buku.
"Maaf..." Ucap pelan perempuan itu
"Buat apa minta maaf..." Remaja itu duduk tegak dan menutup bukunya "Halte ini kan milik bersama." lanjutnya lalu menaruh buku di sebelah kirinya.
Perempuan itu hanya terdiam, dan Remaja mulai merogoh kantong untuk mengambil telpon genggam miliknya, dan dia mengumpat lagi setelah menyadari telpon genggam tidak bisa menyala.
"Permisi, Jam berapa sekarang ?" dia bertanya pada perempuan disampingnya
"Kenapa Mas?" ujar Perempuan sambil melepas salah satu earphone
"Jam berapa sekarang?" ulangnya
"Oh sekarang pukul Tujuh lebih sepuluh" jawabnya setelah melihat layar telepon genggam
"Buset aku telat" seketika dia mengambil tas dan memakai helmnya, kemudian secepatnya menyalakan mesin sepeda tua yang sedikit basah.
"Mas mas tunggu..." Perempuan itu memanggil
Tanpa menghiraukan suara perempuan itu ia langsung menancap gas dan pergi
"Bukunya ketinggalan" lanjut perempuan itu.
perempuan itu sedikit kesal, dan karena buku sudah ditangannya, rasa penasaran pun juga membengkak di dalam kepalanya, perempuan itu terus memandangi buku tersebut dan membaca penggalan cerita di sampul bagian belakang
"Buku aneh, sampulnya kayak konspirasi tapi cuplikannya tentang anak kecil" gumamnya dalam hati,
langsung ia amankan buku kedalam tas dan mengingat-ingat ciri laki-laki yang baru saja pergi tadi.
"udah ah ngapain dipikirin, mungkin nanti bisa ketemu lagi, eh kok ketemu, kembaliin buku ding" gumam Perempuan itu sambil bermain telepon genggam.
Hingga akhirnya datang seorang teman si perempuan yang menjemputnya lalu meninggalkan halte sendirian dibawah sinar lampu jalanan yang sedikit lebih terang dari bulan.
malam itu dalam rasa cemas akan keadaan si pemuda memaksa Badai untuk mengebut membelah malam, sepertinya demi urusan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
dan waktu masih tetap berjalan, ratu malam melaksanakan tugas harian tanpa memerhatikan dua insan yang diayominya, kalau saja semesta sedang senang hati mungkin saja mereka berdua akan dipertemukan.
.
Prolog,
Kota 2018.
YOU ARE READING
Kota Luka dan Dosa
Ficción GeneralSederhana saja, Hanya sebuah cuplikan kisah dari seorang manusia yang terbelenggu dalam rutinitas kota yang perlahan menumbuhkan luka dan diam-diam membawa dosa.