PROLOG

144 15 10
                                    

HUJAN deras beserta petir melanda kota Jakarta sore ini, aku duduk merengut di pinggir sofa bewarna merah dengan sebuah kamera XLR berdiri dengan tripod menghadap ke arahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HUJAN deras beserta petir melanda kota Jakarta sore ini, aku duduk merengut di pinggir sofa bewarna merah dengan sebuah kamera XLR berdiri dengan tripod menghadap ke arahku. Tepat di sebelahnya seorang laki-laki-berpakaian formal lengkap, duduk di sebuah kursi dengan fokus menatap diriku.

“Andi, apakah kamu sudah siap?” tanya laki-laki itu. Ya, itulah namaku Andi, Andika Saputra. Kini umurku masih 9 tahun, aku tak tahu mengapa laki-laki itu berada disini, aku mulai menatap samping kanan-melihat seorang perempuan yang sudah melahirkanku, kini tampaknya ia sangat begitu cemas dengan diriku.

“Baiklah, mari kita mulai,” kata lelaki itu sambil membuka tas koper di bawah kursinya-mengambil sebuah benda berbentuk segitiga bewarna cokelat kayu. Ia pun meletakkan benda itu tepat di atas meja dan menggetarkan jarum benda itu, menimbulkan bunyi stabil yang sangat mengganggu konsentrasi.

“Bisakah kau menutup semua korden jendela?” suruh bapak itu kepada mamaku-ia pun membuka kerah jas hitam nya untuk mengambil sebatang korek api, korek api itu pun ia gunakan untuk menyalakan tiga lilin di samping benda itu.

Sekarang aku mulai was-was, apa yang akan ia lakukan padaku.

“Andika, kita akan bermain menggunakan imajinasimu,” kata cowok itu dengan pelan dengan senyum terlukis di wajahnya. “Pejamkanlah matamu, dan kamu harus mendengarkan ceritaku dan gunakan imajinasi mu.”

“Mari kita mulai.”

Aku pun menuruti perintahnya, mataku pun mulai terpejam dengan indera pendengaran mulai ku perjelas, mendengar cerita laki-laki itu dengan saksama.

“Lihat mata perak di bagian atas segitiga, Lihat saja!" kata laki-laki itu bak sedang mendongeng sebuah cerita. Aku terus membayangkan dongeng laki itu dengan imajinasi yang ku punya, "Setiap kali berayun, mari kita berpura-pura bahwa kita melepaskan seutas tali, sedikit demi sedikit.”

“Mari kita berpura-pura bahwa seutas tali itu, sudah waktunya mengungkap menit demi menit, detik per detik, akan kembali,” mendengar kata dari laki-laki itu, kedua tangan dan kaki ku seketika mulai menegang, bulu kudukku mulai berdiri seperti ada sesuatu yang aneh di sekitar sini.

“Waktu itu lolos, segala sesua1tu di sekitar kamu seperti rumah ini, suaraku, ibumu, semua itu bergerak menjauh dari hidupmu," seketika lilin-lilin di depan ku mulai tertiup, kaki dan tangan tetap tidak bisa di gerakkan, "ketika pertama kali kamu bersekolah, ketika pertama kali kamu belajar berjalan, dimana kamu masih bayi, mari kita kembali ke hari itu, dimana kamu lahir.”

“Mari kita kembali ke hari itu!” kata-kata itu sangat membuat aku tidak nyaman, aku mulai mengerang bak singa yang siap menerkam. Lilin-lilin yang ada di depanku mulai padam, membuat ruangan ini menjadi gelap gulita, detak alat segitiga itu terus berbunyi semakin cepat.

Laki-laki itu mulai berdiri tepat di depanku-menjulurkan tangan kananya untuk meminta sebuah kain bewarna putih sembari mengawasi gerak-gerikku.

Aku terus mengerang menggeliat di atas sofa, setelah mamaku tiba dengan kain putihnya, ia langsung memberi kain itu pada laki-laki dan segera itu langsung menutup semua badanku, asap panas mulai muncul dari bawah tubuhku, membuat laki-laki itu dan mamaku berjalan mundur dengan perlahan.

Lilin-lilin yang tadi padam sekarang mulai menyala lagi satu persatu, “Apakah sudah selesai?” tanya mamaku yang tampak begitu ketakutan.

Mata laki-laki itu dan mamaku mulai terbelalak melihat tubuhku yang tertutupi kain putih seketikpa mulai mengempis dengan perlahan bak ditelan oleh waktu yang berjalan.

Tiba-tiba kulit mereka berdua mulai berubah menjadi sebuah partikel debu yang sangat kecil. Hingga hembusan angin mulai muncul membuat tubuh mereka perlahan-lahan menghilang selamanya.

Lilin-lilin yang tadi menyala sekarang padam untuk kesekian kalinya, seisi rumah menjadi gelap gulita, aku tak tahu ada di manakah aku?

Serpihan-serpihan memori mulai menghilang dari pikiranku dengan perlahan. Ingatan-ingatanku mulai pudar dalam hidupku: kebersamaan bersama mama, bermain di bawah rintik hujan, dipeluk mama saat musim dingin, semua memori itu menghilang begitu saja. []

———

Ini masih prolog ya :) untuk chapter selanjutnya cerita ini akan flashback dimana cerita sebelum scene ini di mulai, dan akan ku jelaskan di chapter-chapter selanjutnya dan moga bisa menjawab semua pertanyaan kalian disini, rasakan feel-nya! Bayangkan semua ini terjadi dengan diri kamh dan orang tua kalian.

Ini masih prolog ya :) untuk chapter selanjutnya cerita ini akan flashback dimana cerita sebelum scene ini di mulai, dan akan ku jelaskan di chapter-chapter selanjutnya dan moga bisa menjawab semua pertanyaan kalian disini, rasakan feel-nya! Bayan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

40% scene horor yang ada di sepanjang cerita ini murni nyata, dan untuk alurnya memang fiksi.

TurunanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang