Si jelata itu kini sendiri:
Merebahkan asa dalam ringkihnya dada.
Menikmati bunga angin di beranda depan
di istana yang putus asa.
Ia tabah; tak ada resah.Si jelata itu kini gelisah:
Tiba-tiba ada yang menyulut bunga api.
Dicampakannya ia dari istana
padahal ia tak bersenjata.
Ia bukanlah orang yang berbahu tegap
yang tampangnya garang dan
berkalungkan dasi.
Ia tak berkapak menadah matahari.Si jelata itu kini ragu:
Melangkah di atas bara kota.
Terambang bak bunga pasir.
Terlempar jauh ke sudut kehampaan.Si jelata itu kini tuli:
Ia tak pernah ambil peduli
tentang lengkingan suara sumbang;
Perihal riuh tawa mereka.Si jelata itu kini buta:
Dalam pucat pasi pagi
matanya sembap; tungkus dalam
hamparan isak.Si jelata itu kini bisu:
Sumpah! Sampai kapan pun ia tak pernah ikut
memanggang kata di bawah terik sang surya.
Tapi barangkali, dalam nuraninya
ia lantang mengadu.Si jelata itu kini pergi
dalam remang-remang pagi:
Menyusuri lengkung roda nasib
yang sesak oleh pengaharapan.
Berlalu dengan seikat pakaian lusuh.
Tertatih bersama kekosongan jiwa.Perginya entah kemana:
Yang jelas ia terpincang bertiga.Februari, 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Jelata Itu
PoetryApakah setiap yang jelata itu diusir karena rambutnya jarang disisir, Yah? Atau karena baju mereka lusuh dan tak memakai dasi? Oh, aku tau, Yah. Atau karena mereka malas menggosok gigi dan mencuci kaki sebelum tidur? Apakah karena ini? Apakah karena...