Part 1. Tertempel

69 14 26
                                    

      Mata berwarna coklat perlahan terbuka, tangan Frisca meraih ponselnya untuk mematikan alarm. Kalau mengingat kejadian kemarin, rasanya Frisca sangat enggan untuk berangkat ke sekolah. Ia tidak terlalu masalah karena kelas di rolling, yang di permasalahkan kenapa ia harus satu kelas lagi dengan Zaenal?

Setelah nyawanya terkumpul, ia langsung bergegas menuju kamar mandi.

**

"Ini siapa yang namain meja, pake nama gua astaga?!" Teriak Frisca ketika sampai dikelas.

Baru delapan murid yang sudah sampai dikelas, dan mereka semua terdiam. "Lala, tau ga ini siapa yang nempelin?"

Lala menggeleng.

Sebuah Karton bertuliskan nama 'FRISCA' tertempel dimeja itu dengan bantuan lakban. Ia menggerutu kesal.

"Ini beneran gak ada yang liat?" Frisca bertanya lagi.

"Wey ini pada gagu apa gimana si?"

Alif angkat bicara, "Kemarin gua liat Zaenal keluar belakangan dari kelas ini, gatau mau ngapain."

Udah pasti ini ulah si anak kambing, awas aja lu E!

"Hallo selamat pagi teman-teman miskin ku! Selamat pagi Caca sayang, Aa Jae rindu loh." Sang pembuat rusuh pun datang, dengan tampang konyolnya ia menyapa seperti itu di depan teman yang masih lumayan baru.

"Aduh aduh, sakit Ca!" Ucap Zaenal karena kupingnya telah dijewer dan ditarik oleh Frischa.

Caca—adalah Frisca. Panggilan dari Zae untuknya.

"Maksudnya apaan nama gue lo tempel disitu?" Tanya Frischa dengan nada kesal.

"Masih pagi Ca, jangan ngegas dong. Tadi sarapan bensin?"

Ia menarik nafas, membuangnya perlahan. "Ini kerjaan lo atau bukan?"

"Iya, hehe. Biar tempat calon istri gak didudukin sama para lelaki hidung belang," Tutur Zaenal seraya tersenyum simpul.

"Zae, Astaghfirullah!"

      Sementara Frisca sibuk melepaskan solasi yang tertempel dimeja, Zaenal dengan santai menaruh tas miliknya dibangku tersebut. Mata Zaenal tetap terfokus kegiatan yang dilakukan oleh Frisca. 'Insyallah, ikhlas.' batinnya.

"Minggir!" Gertak Frisca dengan muka kesalnya.

"Minggir atau gua selepat?" Tambahnya dengan nada semakin dinaikan.

Zaenal tertawa pelan, "Mau dong aa diselepat sama eneng." Setelah berkata seperti itu, ia langsung memindahkan tas dan duduk bersama Farid.

***


        Frisca beserta 3 Sahabatnya masih berdiam diri dikelas walaupun bel istirahat telah berbunyi.

"Sumpah ya, rasanya gua mau pindah aja ke kelas sebelah," ucap Frisca seraya memakan bekal yang telah dibawanya dari rumah.

"Kenapa sih? Anak-anaknya ga asik?" Tanya Della.

"Bukan anak-anaknya, Zaenalnya. Hahaha," Lala menambahkan, seraya tertawa mengingat kejadian pagi tadi.

"Meja ditempelin nama gua, Del. Dikira ini sekolah punya bapaknya kali. Emosi akutu morning morning!" Seru Frisca.

        Suasana kelas memang sepi, karna hampir semua siswa-siswi berada dikantin. Dan, kesunyian itu tak bertahan lama. Frisca yang menyadari keberadaan Zaenal didepan pintu, langsung mempercepat makannya.

"Assalamualaikum, umi Caca." Zaenal mengetuk pintu.

"Sayang, hukum menjawab salam itu wajib. Kan Abi udah ajarin semalem, masa lupa? Ah, pasti ingetnya naena doang ya?" Tanya Zaenal gemas kepada Frisca, pertanyaan yang begitu frontal memang.

"JAE!" Pekik Frisca dengan tatapan tajam ke arah Zaenal.

Della, Lala, dan Gita kaget, bingung apa maksud yang diucapkan oleh Zaenal. "Abis ngapain dah semalem?" Tanya Lala.

"Jawab dong Ca, gausah malu-malu gitu aduhh. Jadi nagih deh, hahaha." Zaenal tertawa lepas.

Frisca terdiam sejenak, "Pergi sana, kambing."

"Nanti malem lagi ya? Dadah, hahaha."
Zaenal pun keluar kelas lagi bersama Farid berjalan menuju ke lapangan untum bermain futsal.

     Memang begitu kebiasaannya, dan ketika masuk kelas pasti sudah berkeringat. Aroma-aroma tak sedap pun bercampur dengan stella, sehingga menimbulkan aroma baru.

**


Jum'at, 9 Nov 2018.

Ig: fzyhftryh

My Kampret BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang