"Kakak mau adik cowok!" Aku berteriak di dapur. Duduk di kursi dan memberi sarapan kedua orangtuaku sebuah kekalutan.
"Eh, kakak. Gak boleh teriak pagi-pagi..." kata mama berusaha bikin aku tenang.
"Kakak mau adik cowok, ma. Wonu udah punya adek cowok. Yolan juga. Kakak kapan?! Kakak main sendirian terus!" Aku terus merengek. Menyerang mama dan papa dengan rentetan pertanyaan.
Disaat teman-temanku punya teman bermain di rumah, kenapa aku sendirian?
"Kakak sarapan dulu gih..."
"Nggak mau! Kakak kesel sama mama papa." Seruku tanpa menghentikan tangis. Aku duduk memunggungi mereka, melipat tanganku di dada.
"Kakak..." hingga papa yang sedari tadi diam mini bersuara. Bisa ku rasakan papa mendekat, beliau mengangkatku dan mendudukkan aku di pangkuannya.
"Kakak mau punya adik?" Tanya papa sambil ngelus rambutku yang habis di kuncir mama.
"Iya pa. Kakak mau adik."
"Papa tanya. Kenapa kakak pengen punya adik?"
"Ya kakak bosen main sendirian. Kakak mau punya temen main." Seruku yang membuat papa tersenyum.
"Kakak sayang. Jadi seorang kakak itu gak gampang dan semudah kakak kalo minta cemilan ke mama." Kata papa yang aku gak ngerti.
"Coba kakak pikirin. Kakak udah gede tapi masih suka nangis kalo maunya gak diturutin. Begitu kakak punya adik, apa yang kakak nikmati 100% akan cuma kakak nikmati 50%. Misalnya kakak punya 4 permen. Sebelum kakak punya adik, semua permen itu kakak yang nikmati. Tapi, kalo kakak udah punya adik, kakak cuma bisa makan 2 permen. 2 permennya lagi harus kakak bagi ke adik kakak." Kata papa yang membuatku menghitung dengan jari.
"Adik bukan cuma temen main, kak. Sebagai kakak, kakak harus jagain adik. Kakak harus belajar berbagi sama adik kakak. Gak boleh rebutan, gak boleh berantem."
"Gak boleh rebutan?" Tanyaku.
"Iya. Gak boleh. Tapi buktinya, kakak masih suka rebutan sama adek Dino. Suka berantem sama Wonu. Saling gak mau ngalah sama Tia." Aku cuma diam. Merasa jadi tersangka. Tapi kadang mereka ngeselin!
"Kalo kakak gitu.... kakak belum bisa dapet adik ya, pa?"
"Iya, betul. Kalo kakak udah belajar mandiri, udah belajar gimana berbagi, pasti tuhan bakal kasih adik buat kakak."
"Oke. Mulai sekarang kakak gak bakal lagi berantem. Kakak mau punya adik."
.
.
.Gue cuma bisa senyum geli kalo inget gimana hebohnya gue dulu sewaktu pengen punya adik cowok.
Nasihat yang papa kasih bener-bener berpengaruh buat gue. Bukan untuk dapetin seorang adik laki-laki. Tapi untuk menjadikan Delia Helana seorang gadis yang peduli.
"Kak, mama tunggu di mobil." Kata mama tanpa masuk kedalam kamar. Gue yang lagi pasang anting cuma bisa iyain doang.
"Iya, ma."
Gue ngerapiin rambut di depan kaca. Gue pake blouse salem dan rok dasar setinggi lutut ditambah coker hitam di leher. Rambut bergelombang gue yang sekarang udah lewat sebahu gue kuncir kuda, poni tipis dan sebagainya.
Duh, apa karena gue bakal ketemu calon adik tiri, gue jadi dandan gaya dewasa gini?
Gue buka ponsel dan ngetik sesuatu di grupchat. Cuma sekedar laporan kalo gue mau pergi ketemu sama saudara tiri. Tapi sayang, kayaknya baik Wonu, Boo, Yolan dan Tia gak ada yang online.

YOU ARE READING
Step (to loving my) Brother [ Joshua Hong ]
Fanfiction⚠️18+ Sebuah cerita tentang kehidupan Delia yang berubah drastis saat mendapatkan seorang adik laki-laki "Lo sehat terus, kapan mati sih?!" "Kakak perhatian banget, aku makin sayang..."