Mengawal Rindu

19 2 0
                                    


Tanganku akan menggiringmu, menemui seongok jiwa yang tertatih dalam memperjuangkanmu. Namun, kenapa langkahmu gusar? Aku tahu kau pasti khawatir kalau pipi kuningmu ternoda cap merah lagi, dari tamparan bapakmu. Rindu, apa kau tahu? Setiap berpapasan denganku bapakmu selalu memajang anak buahnya yang kerap membusungkan dada, lantas menusuk mataku dengan tatapan sangar mereka. Sekalipun, Tak pernah aku dan bapakmu bertukar pandang lantas saling menannya kabar. Terhitung tiga kali sudah aku mendapat tonjokan dari anak buah bapakmu.Semua itu kudapat setelah aku menemuimu atau meloncat pagar rumahmu, lantas berdelik mengetuk jendela kamarmu yang menghadap halaman, untuk menyelipkan secarik surat untukmu. Rindu, aku ingin melindungimu andai kumampu. Tapi, menjadi tameng untuk diri sendiri saja aku tak mampu.

Kau berhenti tepat di mukaku. Hening malam mengawalmu membukakan pagar, diiringi lenganku yang kuulur hingga kembali pada bentuk asli. Lantas, kubawa tigaperempat tubuhku yang tertinggal. Kutatap tubuhmu masih berbalut piama merah. Sekejap air mata ini jebol, mengembuni kacamata. Yang kau jawab dengan tetesan serupa. Rindu, mata sayu itu ikut tergenang air mata. Ya, matamu yang kerap berpeluh.

"Kenapa kamu nangis?" Tanyaku padamu.

"Aku rindu kamu, Lang." Jawabmu usai menyambar pena dari saku celanamu. Kini, kau menyeka air mata.

"Oh, sudah jangan kita banjiri kos ini dengan air mata kita. Aku ingin mengajakmu pergi." Aku menggandengmu sebelum akhirnya kuseka air mata dengan kaos oblongku.

"Pergi?" jawabmu, lantas kau simpan buku saku dan pena kedalam saku celana. Matamu membelalak, diikuti alis tebalmu yang bertaut. Mungkin kau ragu meninggalkan rumah yang kerap kali berbuat buas padamu.

Aku menggenggam jemarimu, menyusuri jalanan sepi. Beginilah, Tak ada satupun orang berlalu lalang kecuali aku dan kamu. Rindu, kau pasti merasakannya juga kan? Malam yang kian larut, hingga mataku dan mata sayumu makin berat merasakan angin malam.

-Di taman impian- Lihat, satu taman yang kujanjikan dua bulan yang lalu sudah di hadapan. Sebuah taman yang kau tanyakan lewat tulisan. Rindu, Bukankah ini syahdu? Tak ada yang tahu kita disini. Tak kulihat bapakmu dan anak buahnya. Lihatlah lampu remang dan lilin-lilin kecil mengelilingi kita, indah bukan? Dengarlah juga cicitan burung-burung perkutut itu, mereka bernyanyi menggantikan akustik kafe yang tak murah jika aku menyewanya untukmu. Kantong anak kos sepertiku tak mampu menyewakan akustik kafe. Rindu, bayangkan aroma alam ini, bila kau adalah masa depanku, dan aku adalah masa depanmu. Suatu hari nanti kita akan mendengar suara ramai dan canda anak-anak kita ditempat yang syahdu ini. Ya, andai takdir benar berpihak pada kita.

"Rindu? Cinta menitipkan setangkai mawar untukmu" kataku padamu setelah kuselipkan sekuntum mawar merah di telingamu. Mawar merah, dengan bau wangi yang kau suka. Kau tersenyum malu lantas mengangguk. Matamu menerawangi setangkai mawar merah tanpa duri yang kau genggam pada jemari kananmu. Hidungmu yang sedikit runcing kulihat berulang kali mensesapi aroma bunga mawar itu. Kau tahu? aku memetik kedua mawar ini ketika kau memanjakan matamu pada lilin-lilin yang bernyala warna-warni. Katamu lewat buku sakumu lilin-lilin itu unik, menghiasi malam yang kian terasa damai.

Kau kembali tersenyum, dengan dua lesung pipit yang tertoreh di wajah kuningmu. Sejenak aku terdiam merasakan sunyi diantara taman dan cahaya remang, hingga kau membuka percakapan.

"Gilang, Aku tak mengerti mengapa kau mengajakku ketaman ini, mengapa malam ini hanya ada kita berdua?" tanyamu kau tulis diatas kertas.

"Em, aku rindu saja."

"Oh, ya aku mengerti." Kali ini kau tersenyum getir, usai meletakan pena dan buku saku diatas kursi putih yang kita duduki.

Mungkin kau mulai janggal, tak ada seorangpun yang kita temui kecuali alam yang bersahabat dengan kita. Kau terdiam, matamu menerawang pada sekeliling taman bunga yang dihiasi beberapa lampion dan lilin-lilin lagi. Sejenak hening diantara kita. Ada rasa bersalah yang menggelayuti pikiranku. Menerobos mimpimu lantas seperti menculikmu kealam abu-abu. Ah ya, mungkin sudah saatnya aku mengutarakan perpisahan padamu Rindu. Sebentar lagi kau akan membuka mata, dan aku akan kembali menemui ragaku yang habis babak belur tak tertolong setelah lonceng berbunyi jam 12 malam tadi. Seingatku usai lonceng berbunyi aku beranjak tidur, tak kusangka anak buah bapakmu telah menjebol engsel pintu kamar kos lantas mengahabisi badan kurusku saat tertidur pulas. Nyawaku seketika tewas dengan bogem dan balok kayu seukuran lengan orang dewasa yang melebamkan tubuhku. Rindu, andai kau tahu tak ada yang mengetuk pintu kamarku atau menanyai keadaanku usai anak buah bapakmu memberi bogem pada sekujur tubuhku. Penghuni kos lain mungkin tengah pulas-pulasnya tertidur diatas kasur masing-masing. Seringkali aku tak mengerti betapa materi sangat diperdulikan bapakmu, sampai anak gadisnya didekati orang culun sepertiku ia pun tak mau. Kenapa bapakmu mengirimkan anak buahnya padaku malam tadi? Apa karena aku ketahuan mengirimkan sepucuk surat yang kuselipkan di pintu rumahmu kemarin siang? Ah, entahlah.

Tangan Untuk RinduWhere stories live. Discover now