Sadewa, maafkan aku ...
Aku tidak lagi bisa membawa koran mingguan yang telah kaunanti-nantikan. Sekali lagi, aku bukannya tidak mau, lebih tepatnya tidak bisa. Kau mungkin saat ini sedang duduk di bibir pantai—menunggu perahuku datang. Tapi, aku meminta seratus, seribu, bahkan sejuta maaf padamu. Aku tahu mungkin permintaan maafku tidak akan bisa membayar penantianmu, tetapi aku bisa apa?
Aku baik-baik saja di sini, kamu tidak perlu repot-repot mencari kabarku. Tempat ini memang tidak seterang pulau, tapi di sini sangat tenang. Aku suka tempat ini, daripada harus tinggal di kota. Di kota aku hanya diam di belakang meja kerjaku, tetapi di sini aku bebas menari dengan ikan-ikan yang senang dengan kehadiranku. Bukankah itu menyenangkan?
Sadewa, mungkin saat ini kamu, Ibu, dan Ayah tengah benci padaku karena lupa dengan pulau kecil kita. Tapi sungguh, aku tidak pernah lupa untuk pulang. Barangkali kamu harus lebih sering mendengarkan angin, karena surat-surat dan doa-doaku selalu dibacakan malaikat yang terbawa bersamanya.
Dan itu hanya untuk kalian.
***
"Langit dan lautnya indah ya, Wa. Aku tidak pernah tahu mereka menjadi begitu cantik saat sore seperti ini," ujarku pelan—memecah suasana.
Dulu, aku selalu menangis setelah lelah belajar di sekolah. Tugas dan PR yang banyak membuatku ingin menumpahkan semua emosiku melalui tangisan. Tetapi, saat itu juga, aku bertanya-tanya. Lelahku belum sebanding dengan lelah Ayahku, tapi mengapa Ayah tidak pernah menangis? Lalu, aku mempertanyakan ini pada Ibuku. Mendengar hal ini, beliau justru hanya tersenyum.
Tebak. Apa yang dijawab Ibuku. Beliau bilang: laki-laki tidak menangis, karena ia kuat membendung segala macam masalah di hidupnya. Tetapi, ketika ada laki-laki yang menangis, ia bukan berarti lemah. Melainkan ia hanya tidak mampu lagi untuk membendung segala macam masalah di hidupnya.
Lalu aku tersadar bahwa aku tidak berada di rumah, melainkan masih di pantai dengan Sadewa. Aku tidak bisa berkata apa-apa, setelah ditatapnya seperti itu. Sadewa memang tidak menangis seperti kebanyakan orang. Tetapi, matanya yang sayu itu berair. Aku tidak tega.
Aku mendengar tawa sinis di sampingku. "Tetapi mereka jahat. Langit dan laut tidak jauh berbeda dengan mereka."
"Mereka? Siapa mereka?"
"Kakakku adalah perempuan baik. Ia bekerja sebagai jurnalis di kota. Ayah sering memarahinya, tetapi ia tidak sepertiku yang langsung pergi meninggalkan rumah. Kakakku juga selalu membantu Ibu mencuci setiap libur kerja. Dia patuh pada kedua orangtuaku. Dia santun kepada semua orang di pulau ini. Dia pun tidak pernah merusak apa pun. Maka, aku berani bersumpah bahwa dia bukanlah orang jahat.
"Kakakku juga amanah. Dia tidak pernah melanggar janji untuk pulang ke pulau ini setiap tanggal 27. Dia membuat hari-hariku berwarna dengan memberikan koran mingguan yang ia kumpulkan untukku dan Ayah. Dia tidak pernah mengeluh ketika Ibuku hanya memasak tempe goreng. Dia sangat jauh berbeda denganku. Dia sempurna dengan segala kebaikan yang ada pada dirinya.
"Tetapi mereka tidak tahu itu, Nir. Mereka hanya tahu bahwa kakakku adalah penjahat. Padahal, tidak."
"P-penjahat?" Aku tergagap, "Memangnya kakakmu telah melakukan apa?"
Kulihat, matanya semakin sayu. Jarinya perlahan lurus menunjuk ke depan. Aku mengikuti arah petunjuknya, tetapi aku tidak melihat kapal atau apa pun yang lewat. Aku hanya melihat langit dan laut yang terpampang di depan kami.
"Kakakku di sana, Nir. Mereka menenggelamkan kakakku karena ia tidak menyerahkan rekaman asli pada orang-orang bertubuh besar."
Rahangku jatuh. "D-ditenggelamkan?"
Lalu, seakan mengiyakan perkataanku, yang terdengar selanjutnya adalah laut yang merespon dengan suara deburan.
Aku melihat sebuah air mata menggelincir di pipinya. "Tapi, ombak-ombak yang saling menerjang itu pura-pura tidak tahu. Langit pun ikut menyimpan rahasia. Padahal mereka bisa saja memberitahuku tentang kakakku yang ditendang dari perahu."
Angin kembali menyapa kami. Malam seolah ingin memeluk erat anak laki-laki di sampingku ini. Tanpa kusadari, air mataku jatuh. Kepalaku pening membayangkan perkataan Sadewa. "H-hah? Ditendang? T-tapi, bagaimana bisa?"
Sadewa menggeleng-geleng. Ia sesenggukan. "Mereka memang selalu memiliki seribu satu cara untuk membungkam orang-orang baik di dunia ini. Karena mereka membenci siapa pun yang berteriak-teriak dan memekik kebenaran."
Hening menguasai kami. Semesta seolah menarik seluruh kata-kata bahasa yang sedari kecil kuingat.
"Katakan, Nir, apa dosa kakakku? Mengapa mereka menenggelamkan orang-orang benar? Dan mengapa laut bekerjasama menelannya, sementara langit justru membisu?"
Hatiku betul-betul tersayat. Di balik keindahan laut, ada rahasia yang disembunyikan dengan sengaja. Di balik ketenangan langit, ada kekejaman yang berdiri di balik kepura-puraan. Adakah setetes tega jatuh pada hati mereka untuk laki-laki yang bersedu sedan terbelenggu ketidaktahuan atas kakaknya yang hilang karena dosa yang tidak pernah dibuatnya?
Sore itu, kami menangis bersama. Melanjutkan percakapan kami dengan tergugu-gugu hingga satu kalimat yang keluar dari mulut Sadewa benar-benar membuatku bungkam seribu bahasa:
"Kita memang seharusnya diam saja. Karena ketika kita bilang, esoknya kita akan hilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
(B)ilang
Conto[bukan cerpen cinta-cintaan] Negeri ini membutuhkan suara kita, Sadewa, meski taruhannya adalah nyawa. Ketahuilah, mereka membungkam setiap orang karena mereka takut pada jiwa ksatria yang tumbuh pada diri orang baik yang berkata benar. Sebagaimana...