Kepergian.

711 55 3
                                    

Tuan, kepergian memang menyakitkan.
Tapi perlu kau tahu, kedatangan mu memunculkan banyak kebagiaan.

Terima kasih telah mengajarkan ku:
Bahwa cinta bisa se-menyenangkan dan se-menyakitkan itu.

🍁🍁🍁

Aku terpaku menatapnya. Setelah setahun lamanya, kini dia kembali hadir di hadapan ku. Luka yang sempat tertutup kini kembali menganga ditambah dengan kilasan-kilasan menyakitkan. Namun, kenapa hatiku masih saja berdetak tak menentu saat mataku dan matanya saling menatap.

Dia pria yang kejam. Pergi begitu saja tanpa sepenggal pesan sehari sebelum pernikahan kami dilaksanakan. Mengingat itu air mataku mengalir dengan perlahan. Kenapa dia kembali? Aku memutuskan kontak mata kami, menunduk dan menghapus air mata ku sebelum berbalik meninggalkannya.

Ku rasakan sebuah tangan menggenggam tanganku, menahan langkah ku. Tangan ini. Aku sangat hafal genggam lembut yang dia berikan pada ku. Tangan ini pula yang pernah merengkuh tubuh ku. Tangan ini juga yang pernah menghapus air mataku.

"Bisa kita bicara?" Suaranya terdengar lirih dan lembut. Kenapa semenyakitkan itu mendengar suaranya setelah setahun lamanya? Pertahanan ku roboh. Air mata ku kembali mengalir, ku hapus segera sebelum berbalik dan menganggukkan kepalaku.

***

Taman menjadi pilihan untuk kami. Sudah sejak setengah jam yang lalu tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya. Dengan lampu yang remang-remang serta hawa dingin yang menusuk tulang aku menatap dia yang duduk di samping ku.

Perubahan yang begitu kentara. Wajahnya terlihat pucat. Badannya pun terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya. Belum lagi keanehan saat aku melihatnya memakai topi. Aku paham betul bahwa ia tidak suka memakai topi, dia lebih suka menyisir rambut dengan jemarinya.

Dia menoleh menatap ku. "Maaf..." Suara itu terdengar lembut dan terkesan lirih. Ada apa dengannya? "Maaf karena pergi tanpa pamit sehari sebelum pernikahan kita dilaksanakan."

"Bohong kalo aku bilang aku tidak marah dan benci padamu. Pernikahan yang aku impikan kandas begitu saja. Pria yang kucintai pergi meninggalkan sesak mendalam." Aku mengatakan dengan wajah tertunduk menatap rumput yang basah, "kenapa kamu pergi? Apa aku melakukan kesalahan-kesalahan?"

Dia menggerakkan kepalanya berulang kali, "Kamu nggak salah."

"Lalu, kenapa kamu pergi?"

Tangannya menggenggam tanganku. Kehangatan melingkupi telapak tangan ku yang terasa dingin. Mata kami saling menatap, ku lihat ada rindu dibalik matanya. Tatapan yang sama seperti saat aku menatapnya.

"Aku mengidap kanker darah stadium akhir," perkataan itu meluncur tanpa aba-aba.

Raut terkejut tidak bisa ku sembunyikan darinya. Kanker darah? Kenapa dia tidak pernah mengatakan ini sebelumnya pada ku?

"Aku nggak mau hari-hari mu dihabiskan hanya untuk merawat aku yang sakit. Maka dari itu aku pergi sebelum pernikahan kita dilaksanakan. Aku ingin kamu hidup bahagia tanpa direpotkan oleh aku yang berpenyakitan."

Air mata ku tidak terbendung lagi. Rasa bersalah menghampiri ku. Ku kira ia pergi karena dia tidak lagi mencintai ku. Aku sudah menganggap dirinya jahat.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang soal ini?"

"Aku mengetahui sebulan sebelum pernikahan kita dilaksanakan. Dan aku nggak mau kamu kasihan padaku, Rima."

Aku menggelengkan kepalaku, "Pemikiran mu terlalu sempit, Hendra. Aku rela menghabiskan hari-hari ku untuk merawat mu asal kamu tetap di samping ku."

Hendra tersenyum padaku. Senyum yang membuat ku tenang. Senyumnya yang membuat ku mencintainya.

"Waktu ku tidak lama lagi, Rima." Ia menggenggam tangan ku erat, "Terima kasih kamu pernah menjadi bagian hidupku. Mengukir kisah indah. Perlu kamu tahu, meninggalkan mu adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan."

Aku merengkuh tubuhnya. Air mataku mengalir begitu derasnya. Dia pria yang sangat aku cintai. Aku tidak perduli bagaimana keadaannya aku hanya ingin tetap bersamanya. Aku rela menghabiskan hari-hari ku hanya untuk merawat dirinya.

"Aku mencintaimu, Rima." Ia memelukku dengan erat, "maaf karena pernah meninggalkan mu. Kamu harus bahagia walaupun tanpa aku,"

"Bahagia ku ada pada dirimu, Hendra." Aku meminta pada Tuhan agar waktu bisa berhenti detik itu juga. Di mana aku bisa memeluknya seperti ini. Bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

***

Di sinilah aku, di depan gundukan tanah dengan nisan yang terukir nama Hendra di sana. Sebulan sebelum kepergiannya aku menemani dia di rumah sakit hanya untuk menghabiskan waktu bersama. Merawatnya dengan kasih sayang.

Ku usap nisannya, "Hen, jika Tuhan mengijinkan untuk aku dan kamu hidup di kehidupan berikutnya aku meminta pada Tuhan untuk menyatukan kita kembali. Terima kasih karena pernah hadir dalam hidup ku, aku senang bisa dicintai dan mencintai kamu. Selamat jalan Hendra, tunggu aku di sana."

Ku hapus air mataku. Aku tidak ingin terlihat sedih di depannya. Hendra berpesan padaku untuk tetap bahagia walaupun tanpa dirinya. Hendra akan tetap menjadi cinta yang ku simpan jauh di dalam lubuk hatiku. Pernah merasakan cinta bersamanya adalah bagian terindah dalam hidupku.

Proses hidup memang seperti itu. Ada yang datang dan juga ada yang pergi. Mereka yang datang tidak bisa menutup kemungkinan bahwa nantinya pula mereka pergi.


Jangan lupa jejaknya ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa jejaknya ❤

Ukiran aksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang