Part 1. Pertemuan Kembali

10 0 0
                                    

Perpustakaan ini masih sama dengan satu dekade lalu saat aku masih sering mengunjunginya. Langit-langit yang tinggi dengan lampu gantung antik tergantung di puncak simetris setiap atapnya. Dulu, aku betah berjam-jam duduk di salah satu meja yang tak banyak dilalui orang, tenggelam dalam beberapa bacaan hingga seorang petugas memberi isyarat bahwa perpustakaan akan segera tutup.

Aroma buku bercampur rak kayu  begitu menenangkan bagiku. Perlahan aku mengitari beberapa blok hingga langkah kaki terhenti pada rak tinggi di mana deretan buku-buku tebal farmasi berbaris rapi. Beberapa buku, kertasnya tampak telah menguning, lalu aku meraih satu di antaranya.  Mengingatkan akan sesuatu, buku inilah yang membuat kami bertemu-seorang lelaki yang lebih muda  empat tahun dariku-yang oleh karenanya tak pernah terpikirkan  bahwa dia akan menjadi jodohku kelak.

Bagaimana mungkin belahan tulang rusuk tercipta terlebih dahulu daripada si empunya rusuk itu sendiri? Bukankah hal yang wajar jika seorang wanita berpikir, mungkin lebih tepatnya berandai-andai, bahwa seseorang yang menjadi pemilik hatinya kelak adalah seorang pria mapan secara materi dan matang secara usia. Bukan seseorang yang justru pantas menjadi adik baginya.

Mungkin perpustakaan ini adalah saksi bagaimana waktu telah bermain-main denganku. Sepuluh tahun yang lalu sejak aku mengenal Kafka, tak sedikit pun lelaki berkulit cokelat itu terlintas di pikiran. Dia hanya serupa figuran dalam kehidupan sang aktris, ada tapi tak dianggap.

Bahkan, meja di hadapanku ini yang dahulu sering kupakai untuk menyembunyikan diri dari penat aktivitas kuliah, kini seolah ikut menertawakan jalan hidupku. Memaksaku untuk kembali menekuri setiap pertemuan dengan lelaki yang dua hari lalu telah menyampaikan pinangannya di hadapan Papa.

Hari itu, aku yang sedang sibuk-sibuknya menyusun tugas akhir bermaksud mencari referensi dari buku-buku di perpustakaan daerah di kota kami. Rak yang tinggi sedikit menyulitkanku mengambil buku yang ada di barisan atas, jadi aku memanfaatkan tangga yang memang disediakan di sana. Malang, kakiku  tergelincir saat berusaha mengambil salah satu buku. Tubuhku melayang menuju lantai, tetapi sepasang tangan menangkap dan menyelamatkan si gadis muda dari rasa sakit dan malu.

“Hati-hati!” begitu katanya. “Mau, kuambilkan buku yang mana?”

Sementara aku masih mengatasi rasa terkejut dan berusaha mengembalikan ritme jantung yang tadi sempat berloncatan, seorang anak lelaki-ya aku mengatakannya begitu, karena dari gaya berpakaian dan wajahnya bisa ditaksir usianya tak jauh berbeda dengan adik lelakiku yang baru lulus SMA-menyodorkan beberapa buku yang tadi akan kuambil.

Tubuhnya yang jangkung membuatku sedikit mendongak untuk melihatnya. Dia tersenyum, sebagian giginya terlihat, putih dan rapi-aku menduga dia belum mengenal tar dan nikotin-. Matanya agak tertarik ke samping memberi kesan sipit.

Aku bisa merasakan wajah ini memanas, lalu berharap tidak memerah mengingat kulitku yang putih sangat sensitif oleh perubahan warna. Sungguh memalukan  jika teringat kecerobohan tadi, seandainya saja aku bisa bersembunyi jauh di dasar bumi. Namun, anak lelaki itu masih berdiri di hadapan, menyadarkan bahwa aku seharusnya tidak bermimpi.

“Terima kasih.” Aku berusaha mengatur suara agar terdengar senormal mungkin.

“Ada lagi lainnya, yang mau diambilkan?” Dia menawarkan bantuannya kembali sambil mengedarkan pandangan pada deretan rak di dekat kami.

“Ah, tidak! Saya bisa mengambilnya sendiri nanti.” Aku berusaha menolak.

Dia terlihat sedikit ragu, tetapi akhirnya berlalu dari hadapanku.

Itulah awal pertemuan kami, karena harapanku untuk tak bertemu lagi dengannya gagal terkabul. Di hari yang lain, tatkala sedang membayar minuman di salah satu minimarket tak jauh dari perpustakaan itu, lagi-lagi dia menyelamatkanku dari rasa malu. Saat tanganku sibuk mencari dompet di dalam tas, seseorang telah menyodorkan selembar uang puluhan ribu dari belakang. Ingin hati menolak, tapi aku tak punya pilihan. Terlihat beberapa orang di baris antrian tak sabar menunggu lebih lama lagi.

Jodoh Yang TertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang