Suasana kafe kopi di salah satu jalan Letjen. Soetoyo ini cukup tenang, aku sengaja mengambil meja di bagian sudut agar tak menjadi perhatian. Mataku yang sembab dan pertemuan dengan Kafka sebentar lagi tentu saja alasannya. Jam kotak putih di pergelangan menunjukkan lima menit lagi dari waktu yang dijanjikan, ketika secangkir kopi aren diletakkan oleh seorang pramusaji.
Dua tegukan sudah melewati kerongkongan saat bocah itu muncul di hadapanku. Baiklah, penampilannya memang bukan lagi seperti mahasiswa yang kutemui beberapa tahun silam itu cukup mengejutkanku, tubuh jangkungnya lebih berisi serta rahang yang tegas ditumbuhi rambut-rambut kasar yang menyiratkan kematangan seorang pria. Namun, perubahan itu tak mengubah sedikit pun cara pandangku padanya, bocah lelaki yang lebih muda usia beberapa tahun dariku.
“Assalamualaikum.” Dia tersenyum sembari mengucap salam memperlihatkan deretan gigi putihnya. Mengingatkan pada tebakan sepuluh tahun lalu bahwa bocah ini belum mengenal nikotin. Itu sedikit menggelitik rasa penasaran apakah wanginya juga masih seperti aroma lemon. Perasaan menggelikan membuatku sedikit tersenyum, yang terlambat kusadari telah tertangkap oleh Kafka saat pandangan kami bertemu.
Aku buru-buru menghentikan kekonyolan ini, berusaha mengembalikan sikap tak ramahku. Berdehem sekali untuk menetralkan rasa canggungku.
“Aku tak akan bertele-tele.”
“Boleh aku pesen minuman dulu? Kopimu wanginya enak?” Kafka nyerocos memotong ucapanku.
Kesal. Namun, aku coba menahan diri. Demi kerjasama yang baik darinya tentu saja.
Setelah memesan secangkir kopi rempah, pandangannya kembali ditujukan padaku.
“Apa ka …?”
“Mengapa kau ingin menikah denganku?” tak ingin berbasa-basi lebih jauh aku menyambar ucapannya langsung pada tujuan pertemuan ini. Dan, usahaku berhasil karena Kafka tampak menarik napas sebentar lalu senyum tengil itu tak ada lagi di wajahnya. Sepertinya dia mulai mengerti aku tak ingin berlama-lama.
“Apakah kamu sudah punya calonmu sendiri?”
“Itu tak menjawab pertanyaanku!” kataku gusar.
“Kalau memang kamu sudah punya calonmu sendiri, aku akan mundur.” Lagi-lagi bukan jawaban yang diberikan olehnya.
“Jadi, benar karena kasihan?” suaraku sedikit berdesis menahan emosi. Entah emosi yang mana, terhina atau justru kecewa aku tak sempat menelisik perasaanku sendiri saat ini.
“Aku tak berpikir begitu, hanya saja….” Kalimatnya menggantung, rautnya seperti berpikir mempertimbangkan apa yang akan diucapkannya.
“Kau sudah terlalu sering menolongku, kali ini tak perlu lagi apalagi untuk mengorbankan hidupmu. Aku akan menyelesaikan persoalan ini dengan caraku. Terima kasih untuk bantuanmu selama ini.”
Setelah mengeluarkan selembar uang ratusan ribu, aku lantas berdiri dan melangkah. Namun baru dua langkah kurasakan ada yang menahan tanganku. Cepat sekali Kafka telah berdiri di hadapanku, mentang-mentang memiliki kaki yang panjang.
“Kamu terlalu sensitif, bisakah kita bicara tanpa emosi?” suaranya kali ini sangat lembut di luar dugaan.
Melihat aku hanya diam saja, dia berinisiatif mendudukkanku kembali di kursi. Kulihat beberapa pasang mata pengunjung lain dan pramusaji tampak melirik ke arah kami, tetapi kini aku tak peduli lagi. Terbiasa bekerja dengan teori membuatku mudah dilumpuhkan dengan emosi. Sesak di dada seolah memangkas akalku bekerja.
“Dari kata-katamu, aku menyimpulkan kamu belum mengikat hati dengan siapapun? Jadi, aku tidak akan mundur dari pinanganku!”
Aku mendelik begitu mendengar ucapannya. Tapi dia tak menggubris.