Aroma lavender menguar begitu aku membuka pintu ruang spa hotel. Kafka rupanya tak main-main mengatakan ingin bergabung denganku, karena kini dia sedang bicara dengan seorang resepsionis ‘room spa’ hotel yang cukup manis.
“Ini istri saya, mungkin dia mau ngambil perawatan yang lain.”
Entah mengapa, saat dia memperkenalkan sebagai istrinya, aku yang semula terlanjur kesal, tak bisa menutupi rasa hangat yang mengaliri pipi. Terlebih resepsionis itu kini beralih tersenyum padaku.
“Mbak, mau paket spa atau ‘massage’ juga?” resepsionis itu menawarkan pilihan perawatan.
Aku memandangi Kafka sesaat sebelum menjawab. Kata ‘juga’, berarti lelaki nyebelin ini memilih ‘massage’.
“Saya, spa aja Mbak.”
“Baik, Mbak, silakan ditunggu sebentar. Mas silakan dengan terapisnya itu.”
Kulihat seorang terapis pria memberi salam pada Kafka dan memberi isyarat agar mengikutinya. Setelah mereka menjauh dan tak terlihat di balik pintu yang lain, aku segera bertanya pada sang resepsionis.
“Mbak, emang suami saya milih massage apa?” Agak terkejut juga sebenarnya aku bisa menyebut Kafka sebagai suami. Tapi entahlah apa yang terjadi dengan hati begitu melihat Kafka berbicara dengan wanita lain tadi.
“Oh, Mas Kafka memilih untuk pijat kebugaran, Mbak. Pijat hanya dilakukan pada titik saraf tertentu saja untuk mengembalikan kebugaran dan tubuh kembali rileks.”
Aku tersenyum dan mengangguk mendengar penjelasan wanita ini. Setelah, sempat terpikir tadi jika Kafka akan dimassage seluruh tubuh. Hah, refleks tanganku menoyor kepala sendiri. Hingga seorang terapis wanita tersenyum geli saat mempersilakanku mengikutinya.
Suasana ruang spa yang temaram dengan wangi lilin aromaterapi sungguh membuatku rileks dari stres yang muncul belakangan. Biarlah nanti akan kupikirkan lagi bagaimana cara menghadapi Kafka. Sekarang saatnya aku memanjakan diri. Bersyukur bahwa kami tak perlu mengambil perawatan spa yang sama, membayangkan berada di ruang spa yang sama dengan pakaian seperti ini sungguh membuatku bergidik.
***
Jarum pendek jam di dinding telah menyentuh angka empat saat perawatan spa selesai, dan yang mengejutkan Kafka masih menungguku di ruang tunggu. Padahal tadi informasi yang kuterima menyebutkan bahwa perawatan ‘massage’ hanya dua jam saja. Berarti dia telah menunggu untuk dua jam. Wew ….
Sepanjang waktu kembali ke kamar kami tak banyak bicara, hanya sekali Kafka bertanya tentang perawatan spa-ku tadi. Sementara, pikiranku mulai sibuk kembali dengan mengatur strategi bagaimana akan menghindari Kafka selanjutnya.
Untungnya, di kamar pria ini disibukkan oleh beberapa panggilan telepon. Sepertinya tentang pekerjaan, karena mereka terdengar membicarakan design, kontruksi dan sejenisnya. Apakah Kafka seorang konsultan arsitektur? Sejujurnya hingga kini aku tak tahu dari uang apa Kafka nanti akan menafkahiku. Selama ini aku tak pernah peduli apa jurusan kuliahnya ataupun pekerjaannya sejak pertemuan terakhir kami dahulu. Namun, aku yakin Papa sangat cukup mengenal kafka hingga mengabulkan pinangan lelaki ini. Toh aku juga mampu menghasilkan uang sendiri.
Setelah berganti baju dan salat Asyar, aku semakin tak tenang. Duduk diam di balkon tetapi pikiranku tidak pada tempatnya. Bahkan, segelas teh hijau hangat tak berpengaruh sama sekali. Hingga ….
“Kamu, ngapain?”
Deg! Keringat dingin mulai terasa di telapak tangan. Namun, aku berusaha sekuat tenaga tetap tenang.
Menoleh pada asal suara, yang kini telah berganti baju dan terlihat segar. Aku memberi senyuman kecil, lalu menggeleng.
“Nggak, menikmati sore aja.”