Ditinggalkan sendirian, membuatku punya banyak waktu untuk menilik seisi rumah. Mulai dari isi ruang tamu hingga isi dapur, mulai dari interior di dinding hingga yang tersimpan dalam almari. Berawal melihat sebuah almari kayu yang begitu lucu desainnya di ruang perpustakaan, langsung mencuri perhatianku. Beberapa seri judul buku tertata rapi di dalamnya. Lalu mata ini tertambat pada tumpukan buku di rak paling bawah, tanpa judul.Ternyata sebuah galeri foto yang dibukukan. Foto pertama adalah seorang bayi montok dengan mata sipit. Aku tak bisa menahan senyum menebak bahwa itu foto Kafka saat balita. Berikutnya, foto wajah yang sama hanya saja dengan usia yang lebih besar. Lembar-lembar berikutnya kutebak adalah foto masa tumbuh kembang Kafka hingga remaja. Lalu, di halaman terakhir ada sebuah foto Kafka balita dengan seorang gadis kecil. Wajah gadis kecil itu tampak familiar, tapi siapa?
Belum puas, aku mengambil satu buku yang lain. Sebuah buku yang pada akhirnya membuatku melihat sisi Kafka yang lain. Isi buku itu adalah foto-foto seorang gadis muda yang diambil secara tidak fokus, asal jepret dan tertangkap lensa. Gadis di foto itu adalah aku. Ya Tuhan, apa arti semua ini? Jika melihat foto-foto itu, mungkin diambil sepuluh tahun yang lalu. Saat Kafka sering ke rumah kami. Mengetahui kenyataan ini, serasa ada ratusan kupu-kupu terbang di dalam diafragma.
Aku buru-buru membereskan isi lemari ke tempatnya semula. Lantas membasuh muka langsung dari keran berulang-ulang, dan kembali ke kamar. Menenangkan perasaan yang sedang nano-nano, ramai rasanya. Berharap aku bisa memutar waktu dan tak perlu sekepo itu membuka lemari. Mengetahui perasaan Kafka dalam ‘photobook’ itu tidak membuatku merasa lebih baik. Udara terasa berubah lebih panas, lalu melihat t-shirt milik Kafka yang menempel di badan. Ya ampun, kok berasa Kafka yang sedang memelukku ya, seketika kubuka kaos milik Kafka dan melemparkannya jauh-jauh. Namun, tak lama kupungut kembali karena tak mungkin aku tanpa pakaian, sementara bajuku telah kotor semua. Sial banget sih nasibku.
Menjelang magrib, aku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Mungkin itu Kafka. Berharap dia tak melupakan janjinya untuk membawakan pakaianku. Benar saja, tak lama aku mendengar Kafka memanggil-manggil namaku.
Setelah menimbang-nimbang, apakah aku akan keluar atau membiarkannya hingga lelah mencari, setelah panggilan yang ke sepuluh akhirnya aku membuka pintu juga. Tampak Kafka menghela napas lega meski menyisakan kepanikan yang coba disembunyikannya. Kupikir dia akan memelukku, atau marah, tapi yang dilakukannya adalah senyum-senyum tak jelas. Ada apa dengannya? Apakah dia sudah gila?
“Hei, kamu cantik.” Dia mengatakan itu setengah menahan tawa.
Apa yang dikatakannya, apa begitu mencinta hingga dia tak marah padaku. Lalu kusadari saat aku menundukkan kepala dan melihat t-shirt kedodoran itu di tubuhku. Ya, Tuhan! Tentu saja dia menganggapku sangat lucu kini. Menyadari itu buru-buru aku berbalik masuk kembali ke kamar dan menutupnya kencang. Sungguh memalukan.
“Vania … ayolah, jangan ngambek donk!” Beberapa kali dia memanggilku begitu di balik pintu.
Sementara, di dalam kamar aku memukul-mukul guling sebagai pelampiasan kesal.
“Va … please keluarlah! Ok, aku minta maaf, kalau memang aku salah. Ini aku bawakan baju kamu.”
Tak ingin berlama-lama menggunakan baju Kafka, aku membuka pintu juga. Hanya cukup untuk menjulurkan kepala dan tangan. “Siniin, baju aku!” Tentu dengan wajah paling cemberut se-Surakarta. Kulihat wajahnya cukup serius untuk menyesali perbuatannya. Jadi ya sudah, aku tak akan memperpanjang ini sekarang.
Selesai berganti baju, aku sengaja berlama-lama di kamar hingga terdengar ketukan di pintu kembali. Masih dengan cemberut aku membukanya, dan wajah Kafka di sana sangat tak biasa, apakah dia marah atau sedih?